[6] Mind and Mine

844 67 0
                                    

Awalnya, Kanaya terkejut dengan permintaan dari Rafael. Namun, setelah dipikirkan, dia menyadari bahwa permintaan itu adalah hal yang wajar mengingat Rafael lebih tua darinya. Yah Rafael seumuran dengan kakaknya, Gabriel. Dengan pertimbangan ini, Kanaya merasa sepantasnya untuk memanggil Rafael dengan imbuhan "Kak".

"Kak Rafael," tanpa basa-basi, Kanaya langsung mewujudkannya. Perkataan itu membuat Rafael tersenyum dengan sangat manis, menimbulkan senyuman tak terduga pula di wajah Kanaya.

Pernahkah kalian pernah menatap sebuah gambar di mana senyum Rafael merekah hingga memperlihatkan deretan giginya? Perhatikan betapa memikatnya senyuman itu, dan mari kita bayangkan bersama. Seiring langkah mereka kembali ke mobil, suasana menjadi lebih hangat dan terasa berlangsung lebih lama. Entah mengapa, kehangatan itu terasa begitu nyata, mungkin karena momen tak terduga di perjalanan mereka itu.

"By the way, what's your jersey number?" tanya Kanaya, mengalihkan pandangannya. Saat itu, Rafael tengah menatapnya sambil terus memegangi jari kelingkingnya. "There are three numbers, 7, 17, and 27. I like number 27 the most, the same date as my birthday," jawab Rafael dengan santai. He didn't lie, Rafael genuinely liked the 27th date.

"When's your birthday, Kanaya?" tanya Rafael bergantian. "November 27th, we share the same birthday," jawab Kanaya sambil terkekeh, menemukan kebetulan itu sangat menarik. Rafael ikut tertawa, "Oh? Should I wear your birthday on my jersey then?" Yah, semuanya adalah sebuah candaan ringan yang menyenangkan di senja kala itu.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk kembali ke dalam mobil, yang kemudian meluncur pulang dengan penuh semangat. Suasana tidak lagi canggung seperti di awal perjalanan, mungkin karena mereka telah sama-sama beradaptasi, menjelma menjadi sosok yang lebih akrab satu sama lain.

Sejenak kemudian, dengan tak terasa, mobil itu telah tiba di depan pintu rumah mereka. Perjalanan singkat itu penuh dengan percakapan panjang, dimana Kanaya dan Rafael saling berbagi tentang diri mereka sendiri, sehingga kata-kata asing yang mungkin muncul di awal, kini perlahan-lahan terhapus dan berganti dengan keakraban yang tumbuh di antara mereka.

"William?" ucap Kanaya, heran melihat William di dapur tengah memasak. "Halo, Kanaya," sapanya sambil mendatangi perempuan itu, mengambil barang bawaan yang dipegangnya. "Hi, Rafael? Nice to meet you, my name is William, Kanaya's friend," ucap William dengan senyum tipis, menjulurkan tangannya kepada sosok lelaki tinggi di belakang Kanaya. Tanpa banyak bicara, Rafael menerima ajakan salaman itu, "Rafael," singkatnya. Suasana dapur terasa hangat, penuh dengan aroma makanan yang sedang dimasak William.

"Kok kamu bisa di sini, Will?" tanya Kanaya dengan rasa heran. "Aku disuruh masak buat makan malam sama Gabriel," jawab William dengan polos. Gabriel, seenaknya saja menyuruh orang lain untuk mengeluarkan tenaga untuk memasak. Gabriel memang sering begitu, aneh.

"Akhirnya kalian pulang juga," kata Gabriel, yang sejak tadi mereka bicarakan, turun tangga dengan pakaian santainya. "Rafael, bawa apa?" tanya Gabriel. Rafael menjawab sambil mengangkat bungkusan itu dan meletakkannya di meja makan, "Martabak from Arhan."

"Asik makan enak, mandi dulu gih kalian!" Orang itu mendorong Kanaya dan Rafael menuju tangga, memaksa mereka untuk cepat bersiap membantu menyiapkan hidangan malam. "Eh, Rafael, go to your own room!" Gabriel menarik kembali niatnya, seharusnya Rafael berada di kamar tamu lantai satu bukan dikamarnya.

"No," balas Rafael sambil menunjukkan ekspresi meledek. "Ini orang emang!" Gabriel spontan melemparkan sandal rumahnya, namun sayangnya, sendal itu malah berhasil ditangkap oleh Rafael. Seharusnya Gabriel tidak meragukan keterampilan pemain bola itu yang telah diakui di Indonesia. Gabriel yang bodoh.

The Overlooked ChaptersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang