Kanaya terbahak, tawanya yang kecil memenuhi ruangan itu, menciptakan getaran halus di udara. Nafasnya terdengar terengah-engah, tapi ia tak bisa menahan diri. Pertanyaan Rafael yang begitu frontal dan polos tadi benar-benar menggelitik hatinya. Wajah Rafael memerah, antara bingung dan malu, tapi ia tetap menatap Kanaya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Pfft, hahahahaha," Kanaya kembali terkekeh, menggenggam perutnya yang terasa sakit karena terlalu banyak tertawa. "Kakak lucu deh," Kanaya berusaha menenangkan diri, mengusap sudut matanya yang mulai basah karena tawa yang tak tertahankan.
Di sisi lain, Rafael hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, bingung melihat reaksi Kanaya yang berlebihan. Ia merasa pertanyaannya tadi tidak ada yang aneh atau lucu, tapi melihat Kanaya yang tertawa seperti itu, ia jadi semakin gemas dengan Kanaya.
"What if...," Kanaya mencoba melanjutkan kalimatnya, tetapi suaranya terputus oleh gelak tawa yang masih berusaha ia redam. Ia menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri lagi. Rafael menatapnya, menunggu kelanjutan dari kalimat yang menggantung itu.
"What if?" ulang Rafael dengan wajah yang bingung, meminta Kanaya untuk melanjutkan kalimatnya, berharap kalimat itu adalah kalimat yang ingin ia dengar dari mulut Kanaya sekarang.
"Hm, what if I make you pancakes? But you choose to skip breakfast? What if when you're fully awake, you come to your senses?" lanjut Kanaya, mencoba menguji reaksi Rafael.
"Kanaya, I know this is one of the lyrics from your favorite singer, right? Don't lie to me, I already know all your preferences." Jawaban Rafael tidak kalah mengejutkan. Kanaya tidak pernah menduga akan mendengar jawaban seperti itu. Memang sih, kalimat tadi adalah salah satu barisan lirik dari lagu berjudul "Milk Teeth" dari Niki. Kanaya tidak mengira Rafael akan mengetahuinya.
"Hehehehe, then," Kanaya tampak berpikir sejenak. Semua taktiknya sudah diketahui oleh Rafael. Setiap gerakan, setiap isyarat, seakan-akan Rafael bisa membaca pikirannya. Dalam keheningan singkat itu, ia memutar otaknya, mencari kata-kata yang tepat, sambil berharap Rafael tidak menyadari kebingungannya. Kanaya ingin percakapan mereka tetap berlanjut entah kenapa.
"What if we rewrite the stars, Kanaya?" Kini Rafael yang bertanya. Suaranya lembut namun penuh arti, seolah-olah ia baru saja menemukan jawaban dari teka-teki yang selama ini ia cari.
Rafael mempertahankan posisi dan tatapannya yang tak pernah berpindah sekalipun dari mata Kanaya, mata yang selalu berhasil menenggelamkan dan lagi-lagi menenggelamkan dia dalam lautan perasaan yang dalam dan kompleks.
"It feels impossible, Kak." Jawab Kanaya dengan wajah serius, tatapan matanya menunduk, seolah mencoba menghindari kenyataan yang ada di hadapannya. Kanaya tidak tahu bahwa Rafael lebih serius lagi. "It's not impossible. I ask, is it impossible? Say that it's possible, Kanaya." Tekan Rafael di akhir kalimatnya, suaranya penuh dengan keteguhan dan harapan, berharap bahwa Kanaya mau mengucapkan hal yang sama dengannya. Rafael ingin Kanaya ikut merasakan apa yang dia rasakan dan memperjuangkan apa yang sedang ia perjuangkan.
"You look so serious and cute at the same time. Yeah, maybe it's possible, maybe next time?" Kanaya mencoba memberikan senyuman kecil, berusaha menyembunyikan rasa bimbang yang masih ada.
Kanaya menatap Rafael dengan mata penuh keraguan. Bagaimana bisa dia, seorang gadis biasa dengan segala keterbatasan dan ketidakpastian, mendekati sosok sebesar Rafael? Bintang terkenal itu, dengan segala pesonanya yang memikat ribuan penggemar, seakan menjadi sosok yang tak terjangkau baginya. Namun di balik keraguan itu, ada keinginan yang mendalam dalam dirinya untuk mengetahui apakah di antara mereka ada kesempatan. Apakah memang ada kesempatan?
Rafael tersenyum tipis, ada harapan yang terselip di balik senyumnya. "I will wait, Kanaya. Even if it's just a maybe. I will wait for the day when maybe becomes yes." Kata-kata Rafael penuh dengan kesabaran dan ketulusan. Meskipun hanya mendapat jawaban yang tidak pasti, Rafael memilih untuk percaya bahwa suatu hari nanti, keraguan Kanaya akan hilang dan mereka bisa meraih impian bersama.
Dengan kata-kata Rafael yang bergema dalam pikirannya, Kanaya merasa sesuatu dalam dirinya mulai berubah. Ia mulai melihat kemungkinan, sebuah jalan yang mungkin bisa mereka lalui bersama. Meskipun masih ada rasa ragu, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Dengan Rafael di sisinya, mungkin—hanya mungkin—mereka bisa mengubah bintang-bintang di langit mereka dan menulis takdir baru yang lebih cerah.
Ah, betapa anehnya aku menemukan diriku menulis seperti ini. Namun, Rafael William Struick telah membalikkan dunia dengan begitu banyak cara. Setiap kali aku menutup mata, aku terjebak dalam khayalan yang melibatkan sosok seperti Rafael. Rasanya tak terelakkan. Ha.Lu.Si.Na.Si
"Kak, wake up. I want to go to the kitchen because neither of us has had dinner until now." Kanaya meminta dengan cepat, perutnya sudah meronta kelaparan. Dia khawatir bahwa jika mereka terus berbicara, perutnya akan bersuara dan itu akan sangat memalukan.
"Would you like me to cook for you? How about a salad? Hahaha, then we'll be on a healthy diet forever if you stay with me." Rafael menjawab sambil tertawa, lalu bangkit dan menarik Kanaya berdiri. Dia kemudian memperbaiki pakaian Kanaya yang terangkat karena gerakannya tadi.
"It's better if you start learning the Indonesian national anthem, I don't want to keep seeing you singing it with the wrong lyrics all the time." Kanaya mencibir sambil menjulurkan lidahnya, lalu pergi ke dapur untuk memasak. "What? Hey, why did you say that?! I'll study it until I memorize it for the next match! You'll see!" ujar Rafael tidak salah mengejek.
"Iya, iya, iya. Janji ya, lain kali jangan main 'ha hi hu hi hu' lagi, ya?" goda Kanaya sambil tertawa terbahak-bahak. Melihat wajah Rafael yang tersinggung membuatnya semakin tidak bisa mengendalikan tawanya. Betapa memalukannya, Rafael terus menjadi bahan ejekan yang muncul di layar besar di stadion setiap pertandingan, ditertawakan oleh ribuan penggemar.
Rafael menggeram frustasi, melangkah cepat menuju dapur untuk mengejar tikus nakal yang sejak tadi membuat suara menggoda. "Kanaya!" serunya dengan nada keras. "If I manage to catch you, I swear I'll lock you up in the room!"
———
KAMU SEDANG MEMBACA
The Overlooked Chapters
FanfictionDalam perjalananku mencintai lelaki itu, hatiku adalah sebuah pintu yang terbuka, sementara hatinya adalah waktu yang terlambat datang untuk menyadari betapa berharganya saat matahari telah terbenam. "You weren't the soul I was searching for." Namun...