Situasinya sekarang agak terbalik. Kalau kemarin, Kanaya yang menjemput Rafael. Sekarang, Rafael yang menjemputnya dengan mobil si atlet sendiri. Ada aura kecanggungan yang terasa, mungkin tidak begitu bagi Rafael, tapi Kanaya merasakannya. Kanaya duduk tegap, memegang box makanan yang sudah dia buat yang diletakkan di kedua pahanya. Sesekali, jari-jari lentik Kanaya bermain-main, jujur Kanaya sangat gugup.
"What's that?" tanya Rafael, memecah keheningan di antara mereka, membuat Kesadaran Kanaya kembali, dan dia menoleh ke arah lelaki itu. "Eclair, I made it. You can eat it if you want." jawab Kanaya dengan senyuman canggungnya.
"By the way, did you just finish a football practice?" tanya Kanaya lagi, berusaha melanjutkan obrolan mereka. Di kursi belakang, barang-barang bawaan Rafael terlihat oleh Kanaya. Rafael adalah seorang atlet, tentu saja dia harus berlatih dengan timnya. Tak lama, Kanaya mendapat jawaban atas pertanyaannya dengan anggukan pelan, dan Rafael menjawab, "Yeah, and can we go to the training ground again? Marselino wants to give me something."
"Oh sure, that's okay!" kata Kanaya. Benar kan? Rafael baru saja selesai latihan. Pasti Gabriel meminta Rafael menjemputnya karena Rafael hendak pulang.
Omong-omong, Kanaya tidak pernah terjun ke dunia latihan semacam itu. Sepak bola? Bahkan Kanaya tidak mengerti apa itu offside dan aturan-aturan lainnya. Kanaya bukan penggemar bola, ia hanya tahu beberapa pemain karena video singkat mereka sering muncul di media sosial. Oleh karena itu, Kanaya menyampaikan ribuan maaf apabila ia melakukan kesalahan yang bodoh.
Rafael memandang Kanaya dengan rasa penasaran yang semakin mendalam, mencoba memahami lapisan emosinya yang tersembunyi di balik senyuman pemalu. Meskipun kejadian mabuk kemarin menciptakan momen canggung, tetapi Rafael yakin bahwa hubungan mereka bisa tumbuh menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan memalukan. Dalam bulan-bulan mendatang, keduanya akan menjalani banyak petualangan bersama, membuka lembaran baru dalam kisah hidup mereka. Mungkin Kanaya juga akan menjadi salah satu tokoh baru dalam cerita kehidupan seorang Rafael William Struick.
Kanaya, perempuan yang meluluhkan hati Rafael dengan pesona kecantikan dan kelembutan. Setiap senyumannya bagai sentuhan ajaib yang mampu mengubah hari kelabu Rafael menjadi berwarna. Namun, dibalik kerlap-kerlip kasih sayang itu, Rafael merasakan kekosongan dalam dirinya, seakan-akan ada rahasia yang tersembunyi di balik senyuman Kanaya. Mereka berdua, terjebak dalam keindahan yang menyamar, mengejar impian yang belum tergambar jelas di benak Rafael.
"We're here." Rafael berhenti dan memarkirkan mobilnya di tempat latihan mereka yang terletak di Jakarta. "I won't be long. Do you want to wait in the car?" Tanya Rafael kembali, Rafael sudah siap untuk keluar. Kalau Kanaya tidak mau turun, ia bisa tetap menyalakan mesin mobilnya. Namun mendengar perkataan Rafael, membuat Kanaya langsung menatapnya memelas dan menggeleng cepat, "Can I come with you? I don't wanna be alone here." Jawabnya.
"Sure, I'll introduce you to them." Rafael mematikan mesin mobilnya dan keluar bersamaan dengan Kanaya menuju bangunan itu. Kanaya keluar dengan hanya membawa tas kecil miliknya, box makanan itu ia tinggalkan dalam mobil. Langit sudah sore, jadi ia merasa tidak begitu panas, lagipula mereka tidak akan lama berada di sana.
Sore itu, stadion gemerlap dengan sorot lampu yang mengundang. Kanaya melangkah di belakang Rafael, memberi kesempatan padanya untuk memimpin perjalanan mereka. Sungguh ia tidak pernah mengunjungi tempat tersebut sebelumnya, Kanaya mengakui bahwa ia kurang paham arah. Dari belakang, Kanaya menyadari betapa tingginya Rafael. Dibandingkan dengannya, Kanaya terlihat sangat pendek, hanya sepundak. Tak heran, pagi itu tetesan air dari rambut Rafael dengan leluasa menetes ke wajah Kanaya.
"My bro, my bro!" Pekikan nyaring terdengar oleh Kanaya, perempuan itu mengintip dari belakang tubuh Rafael yang besar. Hanya dalam sekejap, ia memunculkan diri dan kembali bersembunyi, menjadikan punggung Rafael sebagai tamengnya. Disana ramai sekali. Kanaya bisa mati untuk bersosialisasi.
"Eits, siapa ini, ya? Hahaha, Rafael bawa siapa, tuh?" dengan satu tarikan, Kanaya terdorong ke depan. Marselino menariknya, namanya memang Marselino kan? Pemain yang tingkahnya absurd itu. "Halo, kak! Salam kenal ya, aku Kanaya," ucap Kanaya dengan senyuman bisnisnya yang khas. Wajahnya memerah karena malu, dan di sana, suasana masih sangat ramai. Mereka, kebanyakan tidak mengenakan baju atasan.
"Eak! Kanaya mau apel gak?" tanya seorang lagi sambil membawa beberapa buah apel di tangannya. Bisakah kalian menebak siapa dia? Seharusnya kalian mengenali lelaki itu, bukan? "Enggak usah, kak. Makasih udah tawarin aku, kak Arhan," tolak Kanaya dengan sopan. Mengapa Arhan muncul tiba-tiba sambil menyodorkan apel dan tersenyum polos begitu, saat Kanaya sedang stres seperti ini?!
Bisakah kamu membayangkan, mata suci Kanaya ternodai seperti ini? Meskipun bukan penggemar sepak bola sejati, kehadirannya di sana memberikan warna baru dalam hidupnya. Ah, bukan warna. Lebih tepatnya, trauma baru bagi kehidupan Kanaya.
Kedatangan Kanaya menarik perhatian mereka; semua orang memandang ke arahnya. Kanaya hanya tersenyum canggung. "Hey Rafael, is she your girlfriend huh?" Marselino kembali melantur dengan bahasa Inggris terpadu dengan aksen bahasa Indonesia. "She's my friend's sister. What do you want to give me?" Rafael menyahut, memperjelas situasi.
"Arhan bagi-bagi Martabak, si Elkan udah ngambil duluan noh." Marselino memberikan satu bungkus martabak yang tidak disebutkan sebelumnya. Tangannya meraih Rafael, namun matanya tetap menatap Kanaya sambil tersenyum dengan caranya yang menggoda. "Kanaaayaaa, jangan mau sama Rafael. Dia nggak asik, ngomongnya pake bahasa Inggris. Kita ngomong begini juga dia mah nggak ngerti." Ledek Marselino membuat Kanaya tertawa, benar juga ya. Rafael tidak akan mengerti apa yang mereka bicarakan.
Menyadari bahwa dirinya menjadi bahan tertawaan, Rafael memberontak, "I am learning!" ucapnya dengan tidak terima. Tingkat ketidaktahuan Rafael sangat menggemaskan, melihat bagaimana lelaki itu berusaha untuk memahami tetapi tetap tidak berhasil.
"Kanaya beneran gak mau apel?" Kedua kalinya, Arhan menyodorkan sebuah apel kepadanya. "Apelnya enak loh," tambahnya, seakan ingin meyakinkan Kanaya. Bahkan tanpa Arhan mengatakannya, Kanaya sudah tahu bahwa apel itu lezat. Ia juga melihat Arhan menyantapnya dengan lahap. "Woi, gak jelas kali kau!" teriak Marselino sambil menendang Arhan di bagian belakang, memicu pertengkaran di antara mereka.
Entah siapa Kanaya dan mengapa ia bisa berada di sana. "Let's go home," Rafael tanpa sadar memegang pundak Kanaya, memutar tubuh perempuan itu, dan membawanya berjalan bersamanya. Sentuhan tangan Rafael terasa begitu nyata, merangkul tubuhnya.
Selama perjalanan keluar, keduanya hanya terdiam.Hingga akhirnya, tangan Rafael perlahan turun dari pundak Kanaya. Punggung mereka semakin menjauh dari pandangan, hingga menjadi seni abstrak yang tak bisa diperjelas oleh mata. Tidak ada yang tahu bahwa tanpa sadar, Rafael menurunkan tangannya dari pundak Kanaya untuk meraih tangan perempuan itu. Ah, tidak.
Lebih tepatnya, jari kelingking Kanaya.
Rafael memegangnya begitu erat, jari kelingking Kanaya yang begitu mungil. Lalu, dengan penuh arti, ia menoleh dan berkata, "Can you call me 'Kak' like you call them?" Dalam senja yang tenang, mereka saling menatap, dan getaran jantung pun berbisik bahwa mereka tengah terjatuh dalam cinta yang tak terungkapkan.
---
Yey, double up buat menebus episode kemarin ya. Kemungkinan mulai hari ini, aku juga bakal jarang up lagi karena aku lagi sibuk banget. But I'll try my best to keep updating; I can't promise. Even if I disappear, I'll definitely come back. I hope my writing mood stays, and I hope you enjoy this story. Everaine loves you all, and she loves Rafael Struick too!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Overlooked Chapters
FanfictionDalam perjalananku mencintai lelaki itu, hatiku adalah sebuah pintu yang terbuka, sementara hatinya adalah waktu yang terlambat datang untuk menyadari betapa berharganya saat matahari telah terbenam. "You weren't the soul I was searching for." Namun...