8. Jadi rambut siapa?

61 8 1
                                    

Hening. Itulah yang terasa begitu kental saat aku perlahan-lahan membuka mata. Langit masih gelap, pandanganku masih kabur. Rasanya aneh, tak seperti biasanya setelah tidur. Aku meraba-raba keadaan di sekitarku, mencoba memahami di mana aku berada. Suara-suara bisikan bergema di telingaku, dan serpihan kenangan mulai merangkak perlahan. Ah, memang benar, ini masih di kamar asrama. Ya, aku ingat sekarang. Tetapi, kenapa begitu banyak orang di sekitarku? Apakah ini suatu mimpi? Rasanya tidak, karena setiap detik terasa begitu nyata.

Sesaat kemudian, sebuah kejutan menerpa ketika menyadari bahwa semua mata di ruangan ini terfokus padaku. Aku melihat banyak teman-teman asramaku dari berbagai kamar memandangku dengan campuran antara kekhawatiran atau bahkan... ketakutan? Dan aku sendiri belum sepenuhnya menyadari apa yang telah terjadi. Pandanganku mulai memfokus, dan aku merasakan detak jantungku semakin kencang. Tiba-tiba, ingatanku membanjiri, dan aku menyadari bahwa aku baru saja mengalami sesuatu yang tak biasa. Aku teringat akan perasaan aneh yang merayapi tubuhku, kegelapan yang merayap dibalik cermin di dinding itu.

Aku terdiam, mencoba meresapi keadaan, sementara orang-orang di sekitarku memberikan jarak seakan takut akan apa yang mungkin terjadi selanjutnya. Ibu pengurus asrama, yang wajahnya penuh dengan campuran antara keprihatinan dan keberanian, mendekatiku. Matanya menyoroti wajahku, seolah mencari tanda-tanda apakah aku baik-baik saja. Aku melihat pandangan ibu pengurus itu, dan dalam mata kami saling bertemu, "Kamu baik-baik saja, nak? ah, syukurlah kamu udah sadar," beliau membuka suara. Aku hanya bisa mengangguk, belum mampu menemukan kata-kata yang tepat. Tetapi, sorotan mata orang-orang di sekitarku dan hening yang masih terasa menggelayut memberikan kesan tegang yang melekat. Suasana kamar asrama menjadi semakin terasa, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberikan ruang bagi kejadian yang baru saja terjadi.

"Saya kenapa, Bu? ada apa?"

"Kamu baru aja kerasukan, Nak. Tadi Lula yang nemuin kamu bersikap aneh depan cermin, terus dia teriak. Makanya kita semua bergegas kesini buat ngecek, ternyata kamu beneran kerasukan." Jelasnya singkat.

"Kerasukan?" aku mengernyitkan dahi. "Saya ngga ngerti, Bu. Yang saya inget, saya cuma lagi bercermin buat bersih-bersih sepulang sekolah." Aku menoleh ke arah dimana seharusnya cermin itu terletak, namun sekarang disana hanya ada dinding bersih. Cermin itu sudah menghilang.

Lula menyelinap dari kerumunan, kemudian duduk di ranjang kasurku, "iya, aku kira Kak Luna juga lagi bercermin biasa. Tapi, waktu aku panggil, Kak Luna jawab, tapi suaranya bukan suaranya Kak Luna, tapi suara nenek-nenek," ia menjeda sebentar, "tatapan mata Kakak juga tajem banget."

Aku hampir tidak ingin mempercayainya sebelum teman-teman yang mengerubungiku serentak mengangguk. Mataku mengedar, tak menemukan keberadaan Jenna sama sekali. Andai disini, ia pasti akan menanyaiku dengan seribu pertanyaan hingga aku jengah.

Ketika kerumunan benar-benar selesai membubarkan diri, kamar asramaku kembali hening, menyisakan hanya aku, Lula, dan Reva dalam keadaan yang penuh tanda tanya. Entahlah sisa penghuni kamar ini kemana, mungkin kelas yang tengah mereka ikuti memang sebegitu sibuknya. Ibu asrama tadi sempat berpesan agar malam ini aku istirahat saja di kamar dan jangan sering melamun, lantas aku segera menganggukinya dan mengucapkan terima kasih.

"Apa yang lo rasain sekarang, Kak?" Reva membuka suara.

"Berat, pusing, linglung juga. Apa.. apa yang sebenernya terjadi?" untuk sesaat, Lula dan Reva saling berpandangan. "Kita juga bingung, Kak."

Sesaat aku kembali terdiam, hening merayap seperti bayangan malam yang semakin dalam. Pada akhirnya Lula dan Reva kembali menaiki ranjang bunk bed mereka masing-masing—entah masih ingin bersantai atau ingin langsung tidur, aku mencoba tak peduli. Sesaat kedua mataku melirik ke atas, mengedari langit langit kamar asrama yang menyimpan lebih dari sekadar batas fisik. Namun, saat pandanganku berhenti di salah satu sudut langit-langit kamar, mataku sukses melebar hingga ketakutan kembali merayapi diriku.

Bisikan Bulan 🌙Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang