Hafizah dan Pramutama Bar: 8

63 17 1
                                    

Sudah lebih dari dua minggu. Wanda belum sempat mengunjungi bar lagi karena ada tugas praktikum akhir. Wanda harus membuat laporan secara berkala tiap kali pengamatan. Syukurlah, seminggu setelah ujian adalah waktu pengamatan terakhir Wanda. Wanda tinggal menyelesaikan laporannya untuk dikumpulkan.

Wanda menghela napas melihat laporannya sudah diunggah di web belajar khusus mahasiswa. Laporannya ini tidak ditulis tangan, tidak di-print, jadi hanya unggahan failnya saja yang dikumpulkan. (Lumayan untuk mengurangi penggunaan kertas berlebihan.)

Wanda keluar perpustakaan tempatnya tadi mengunggah fail laporannya. Wanda meninggalkan laptopnya di tempat kos. Akan tetapi, Wanda juga punya penyimpanan fail di ponselnya yang bisa diakses lewat internet, jadi tadi dia mengunggah melalui ponsel. Saat Wanda hendak berbelok di selasar, Wanda hampir menabrak Tony yang berjalan dari arah berlainan. Mereka berdua sama-sama berseru terkejut.

"Oh, maaf, Wanda," ujar Tony. Tony sedang memegang ponsel miliknya sendiri lalu dia menyembunyikan ponselnya ke balik punggungnya. "Aku yang sedang meleng."

"Iya, tidak apa-apa."

"Sudah mengumpulkan laporan?" tanya Tony. Mereka terhenti di belokan selasar. Mereka hanya terpisah sejauh beberapa sentimeter di sekitaran sudut belokan.

"Sudah. Tony sudah?"

Tony menggeleng. "Sedikit lagi. Wanda cepat, ya."

Wanda mengangguk sekali. Beginikah orang yang sempat menggosipkan hal-hal aneh tentang saya yang pergi ke bar?

"Ya. Permisi, Tony."

Wanda berjalan melewati Tony. Setelah Wanda baru melewatinya, Tony memanggil Wanda. "Wanda!"

Wanda membalikkan badan sampai melihat Tony kembali.

"Aku minta maaf," ucap Tony.

"Kenapa?"

"Aku ... tidak bermaksud mengganggumu. Aku hanya bingung. Aku sudah lama mau mengajakmu belajar atau mengerjakan tugas bareng, tapi kamu sudah punya tempat favorit untuk belajar, ya kan?"

Wanda mengernyit. "Mungkin saya punya. Tapi, kenapa Tony bingung? Mengapa tidak langsung mengajak saya saja?"

"Aku ... tidak tahu kamu mau atau tidak."

"Saya bisa, kok, belajar atau mengerjakan tugas di tempat lain. Kalau Tony ajak saya, saya jadi punya makin banyak pilihan tempat untuk belajar, kan? Asalkan tempatnya memang kondusif."

Air muka Tony menjadi lebih cerah. "Jadi, kamu mau belajar sama aku?"

Wanda mendengus lalu terkekeh pelan. "Mau saja. Tapi, kita ajak teman-teman lain juga sebaiknya."

"Ah ...."

***

Wanda merasa senang karena sudah tidak memiliki tugas lagi. Wanda berbaring di kasurnya sambil tersenyum. Serta-merta, dia teringat kalau dia sudah lebih dari dua minggu tidak ke bar tempat Luther bekerja. Nanti ke sana lagi, kok, sebentar lagi.

Ponsel Wanda bergetar. Wanda mengambil ponselnya di meja belajar tepat di samping kasurnya. Wanda baru saja mendapat pesan. Dia melihat siapa pengirimnya.

Luther. Mas Luther?

Wanda membuka pesan di DM Instagram-nya. Mata Wanda membelalak. Pergi ke kedai ramen di Jl. X. Makan bersama di sana. Mas Luther mengajak kencan.

Mas Luther mengajak kencan?

Mas Luther mengajak kencan!

Wanda terduduk di atas kasurnya. Dia memegangi kepalanya. Seluruh wajahnya menjadi merah. Bagaimana ini?! Apa harus saya terima?

Wanda tiba-tiba panik. Belum pernah ada yang mengajaknya berkencan sebelum ini. Eh, tapi, Tony sempat mengajak belajar bersama. Apa itu dihitung? Mungkin tidak karena belum jelas kapan dan di mananya. Hanya pengandaian.

Di pesannya, Luther mengajak Wanda makan pada hari Sabtu di minggu ini kelak. Mata Wanda membelalak lagi. Ini seperti malam mingguan, ya? Atau memang malam mingguan?

Luther bilang kalau waktunya pukul 18.30. Ini memang malam mingguan!

Wanda berdiri dari kasur. Dia membuka lemari pakaiannya. Semua pakaian saya begini-begini saja. Eh, tapi, blus merah yang ini lucu. Dipadu dengan kerudung pink sepertinya bagus.

Wanda menutup pintu lemarinya lagi kemudian. Jadi, harus diterima? Wanda merasa tidak punya kesibukan di hari Sabtu. Tidak ada tugas kuliah. Tidak ada teman yang mengajaknya main atau belajar untuk saat ini. Hari Sabtu Wanda benar-benar kosong. Meski masih malu, Wanda mulai mengetik di ponselnya, mengiakan ajakan Luther di DM Instagram. Harus diterima! Daripada tidak ada kegiatan, diam saja di kos.

Hafizah dan Pramutama BarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang