BLC | CH-04

10.9K 1K 34
                                    

Mungkin, rasa marah tidak ada. Tapi, jika ditanya kecewa atau tidak dengan sang ayah, Lava menjawab iya. Kembali pada kenyataan, Lava hanyalah anak hasil perselingkuhan dan tidak diharapkan kehadirannya.

Salsa mau mempertahankannya hingga ia melihat dunia saja, Lava merasa tidak pantas. Kehidupan sang ibu yang dulunya bahagia pasti terenggut karena kehadiran Lava.

Saat ini Lava hanya berpikir panjang. Jika Lava memilih tinggal sendiri disini, pasti bully-an yang ia dapat akan lebih parah lagi. Tapi sebaliknya. Jika ia ikut pria tua yang katanya ayah kandungnya itu, hidupnya akan terjamin.

Setidaknya, Lava tidak akan merasa khawatir tentang hari esok. Makanan, uang saku, tempat tinggal, Lava tidak perlu menunggu pemberian orang lain lagi.

Jika dilihat dari penampilan Ardian dan Medina sih, begitu. Lava akan menjadi orang kaya dadakan.

"Dih. Kenapa senyum-senyum kayak gitu?"

Menatap Ulin. "Gapapa."

"Ayo, kita kemasi barang-barang yang mau Lava bawa," Ucap Ardian.

Lava mengangguk. Membawa langkah kakinya memasuki rumah, dengan tujuan kekamar, diikuti tiga orang dewasa dibelakangnya.

"Tapi baju Lava banyak," Ujarnya sambil menatap Ardian. Beralih membuka lemari plastik, dimana ia menyimpan bajunya disana.

Medina dan Ardian spontan memejamkan mata saat bau menyengat langsung tercium begitu Lava membua lemarinya. Berbeda dengan Ulin. Pria itu sudah tidak terkejut lagi.

Membalikkan badannya. "Kan, baju Lava banyak."

Sepasang suami-istri itu terdiam melihat isi lemari Lava. Mereka seperti tidak melihat tumpukan baju, melainkan tumpukan kain bekas yang tak layak dipakai lagi.

Hati Medina sebagai seorang ibu menjerit melihat bertapa tak layaknya kehidupan Lava. Rasa kesal dan benci karena Lava adalah anak hasil perselingkuhan suaminya menguar entah kemana.

Medina menggigit bibir bawahnya, menunduk menatap mata bulat Lava yang tengah menatapnya lugu. Medina berjalan mendekati Lava, lalu menyamakan tingginya dengan Lava.

Saat jemarinya mencoba menyisir rambut Lava, Medina semakin dibuat bungkam. Apa anak ini tidak pernah menyisir rambutnya?

"Bajunya nggak usah dibawa ya, nak?"

Ardian dan Ulin sontak saling menatap. Medina yang paling menentang keras kehadiran Lava, berusah dalam sekejap? Bahkan tutur katanya lembut. Tidak seketus saat menanyakan Lava dari jauh seperti tadi.

"Baju Lava jelek, ya?"

Menggeleng pelan. "Bajunya bagus. Tapi, gimana kalo kita beli baju yang baru aja? Nanti Lava pilih sendiri mau gambar apa."

"Lava suka gambal sepeda."

"Iya. Nanti kita beli yang ada gambar sepedanya," Menoleh menatap Ardian. "Iya kan, pa?"

"Iya."

Pada akhirnya, Lava hanya membawa tas, buku, dan seragam sekolahnya. Bukan Medina tidak menghargai barang milik Lava, akan tetapi, Medina hanya ingin membelikan yang lebih layak lagi untuk Lava.

"Makasih ya, Lin," Ucap Ardian. Berterimakasih untuk semua yang Ulin berikan untuk Lava, dan hal-hal baik lainnya yang sudah Ulin lakukan pada Lava dan ibunya dulu.

"Santai," Menepuk pundak Ardian. "Jaga Lava. Nggak ada permintaan lain, cuma itu. Jaga Lava."

Tersenyum tipis. "Pasti."

Bukan Lava Cake [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang