"Adek ada kepikiran sesuatu?"
Lava menoleh kesamping, ia pandangi wanita berparas ayu yang selalu ia panggil Mama. Lama sekali Lava menatap wajah Medina, sebelum akhirnya mengajukan sebuah pertanyaan yang beberapa hari ini Lava pendam sendiri.
"Mama benelan nggak benci sama Lava?"
Dahi Medina berkerut. Sebelumnya, Medina sepertinya sudah menjawab pertanyaan yang sama. Kenapa Lava menanyakannya lagi?
"Benelan nggak benci sama Lava?"
Mengusap kepala Lava. "Bukannya mama pernah jawab? Kenapa tanya lagi?"
Menggeleng kecil. "Lava mau pulang kelumah Lava sama ibu aja, Lava suka disana."
"Adek nggak nyaman disini?"
"Lava suka. Tapi disana olang-olang baik semua, meleka nggak jahat sama Lava–,"
"Ada yang jahatin adek disini?"
"Lava belani kok, hidup sendili," Lava tak mengindahkan pertanyaan Medina. "Pas tinggal dilumah ibu, yang jahat sama Lava cuma temen-temen disekolah. Tapi disini, semuanya nggak suka sama Lava."
Medina diam. Membiarkan Lava mengatakan semua yang dirasakan.
"Mama."
"Hm?" Medina dapat melihat kedua mata jernih itu mulai terlapisi air.
"Lava nggak salah kan, ikut hidup didunia meskipun Lava anak halam? Lava boleh hidup nolmal kayak temen-temen yang lain, kan? Lava boleh nggak, jangan dinakalin telus? Lava mau ikut ibu aja--,"
Tepat dikalimat terakhir, Medina menarik Lava kepelukannya. Membuat tangisan Lava langsung pecah. Anak itu menangis kencang dengan tangan mencengkeram erat baju Medina.
Berkali-kali Medina memberikan kecupan dikening Lavandra. Ingin merespon dan mengatakan semua akan baik-baik saja, tetapi rasanya seperti ditahan.
"Mama benelan nggak benci Lava?" Lagi-lagi pertanyaan itu Lava ajukan disela-sela tangisannya. Hanya takut, dan ingin memastikan.
"Mama nggak benci Lava, mama sayang sama Lava."
"Tapi Lava anak halam," Tangisnya. "Lava anak halam, mama. Lava anak halam, nggak boleh hidup anak halam."
"Siapa bilang?" Menangkup kedua pipi Lava, Medina usap air mata yang mengalir. "Lava anak mama, bukan anak haram. Lava anak mama, sayang, Lava anak mama. Oke?"
Menggeleng lirih. "Anak halam nggak boleh bahagia, anak halam halus mendelita! Lava benci sama ibu, Lava benci sama Papa. Meleka jahat, meleka yang nakal, bukan Lava."
Medina menarik tubuh kurus Lava kepelukannya. Entah apa yang membuat Lava menjadi seperti ini.
"Lava nggak mau jadi anak ibu, Lava nggak mau punya olang tua. Meleka jahat sama Lava, mama ... Lava benci papa."
"Stt ... Lava anak mama. Anak mama yang pinter, anak mama yang baik. Lava cuma anak mama, oke?"
"Iya."
***
"Idihdih, ada yang baru nangis, nih," Jelas itu ditujukan untuk Lava. Marel duduk disamping adiknya yang masih fokus menonton kartun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Lava Cake [Completed]
AléatoireLava si anak tengil. Mungkin jika melihat dari sikap Lava sekilas, kalian akan mengatakan seperti itu. Lava si anak pembangkang, tidak memiliki sopan santun, dan memiliki tutur bahasa yang kasar. Kalian tau, kan? Dibalik kerasnya cangkang kepiting...