⚠️Kata-kata kasar⚠️
Lava ingin menangis rasanya, tapi ia malu. Dadanya bergerak naik turun karena langkah Ardian membuatnya berlari sampai kedalam rumah.
Bibir bawahnya maju menahan tangis.
"Ardian!" Medina berteriak marah menyusul mereka. Berlari agar dapat mendekati Lava dengan cepat. "Apaan sih!"
Lava langsung beringsut menyembuyikan wajahnya dilengan Medina. Kenapa Ardian harus marah karena hal sepele seperti ini? Apa kedepannya Lava akan diperlakukan lebih kasar lagi?
"Aku cuma mau dia nggak seenaknya aja dirumah orang lain."
"Kamu papanya!" Teriak Medina.
"Ya karna aku papanya. Aku cuma nggak mau dia seenaknya aja, manja, dia harus mandiri."
Medina menggeram menahan kesal. "Lava udah mandiri dari dulu. Kamu nggak denger pas Ulin cerita tadi? Apa telinga kamu nggak udah berfungsi?"
Menghela nafas. Melempar paper bag yang berada ditangannya kelantai. "Kamu nggak ngerti, Din," Setelahnya langsung melangkah menjauh. Tidak mau memperpanjang perdebatannya dengan Medina. Ardian hanya tak mau putranya yang lain mendengar dan melihat kedua orang tuanya bertengkar.
Lava langsung menghampiri barang yang baru saja dibuang Ardian. Berjongkok, memasukkan kembali baju barunya yang tercecer karena lemparan Ardian. Lava menghargai Medina yang memilihkan baju untuknya.
Bolehkah Lava mengatakan jika Lava mulai nyaman bersama Medina? Dan, apakah boleh Lava menyayangi Medina, setara dengan rasa sayangnya terhadap Salsa?
"Maafin papa ya, nak?" Ujar Medina sambil membantu Lava merapikan baju yang tercecer.
"Nggak mau."
Medina hanya tersenyum tipis. "Ayo. Mama anterin kekamar Lava yang baru."
***
Entahlah.
Kamar yang ditujukan untuknya memang bersih, luas, dan nyaman untuk tempat beristirahat daripada kamarnya yang dulu.
Tapi, kenapa letaknya disamping dapur? Tepatnya, disebelah kamar mandi dapur.
"Lava?" Panggil Medina saat Lava hanya diam diambang pintu, memandangi kamar barunya. "Lava nggak suka?"
Berjalan memasuki kamar. "Suka. Tapi kok kamalnya didapul?"
Medina tersenyum kecut. Awalnya ruangan ini adalah sebuah gudang yang ia sulap menjadi kamar. Jelas, karena kemarin Medina tidak memperdulikan tempat dan dimana Lava tidur, yang terpenting anak itu tidak kehujanan dirumah ini.
"Lava nggak suka? Mau pindah aja kamarnya?"
Menggeleng. "Enggak deh. Lava suka kok, kalo lapel kan tinggal kelual."
"No ... Kalo Lava mau pindah, mama siapin kamar disamping kakak."
"Lava mau disini," Berjalan mendekati kasur, kemudian mendudukkan dirinya disana. "Empuk kasulnya."
Medina menyesal. "Apa Lava mau bobok sama mama aja?"
"Lava bisa tempel gambal-gambal Lava ditembok," Kata Lava tanpa merespon pertanyaan yang Medina lontarkan.
Ibu jari Medina mengusap pipi Lava. Menyesal karena memberikan kamar untuk Lava didekat dapur. Sejak dulu, Medina terlalu fokus hanya pada rasa bencinya saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Lava Cake [Completed]
RandomLava si anak tengil. Mungkin jika melihat dari sikap Lava sekilas, kalian akan mengatakan seperti itu. Lava si anak pembangkang, tidak memiliki sopan santun, dan memiliki tutur bahasa yang kasar. Kalian tau, kan? Dibalik kerasnya cangkang kepiting...