Rasanya seperti tusukan paku berkarat tepat didadanya, jiwa Lava terguncang keras hari ini. Bayangan kondisi sang ibu terus melintas dikepalanya. Lava tidak bisa melupakan, tapi jika terus mengingat ia masih takut.
Tadi, setelah sepuluh menit menangis memeluk kaki Salsa yang menggantung, Lava berlari kearah rumah Ulin dan mengadu. Berteriak dengan suara tangisan keras membuat tetangga sekitar langsung keluar rumah dan menanyakan apa yang terjadi.
Lava hanya diam. Sembari memeluk dua piring plastik, Lava hanya diam memandang tubuh sang ibu yang diturunkan.
"Lava mau makan?" Ulin bertanya sambil merangkul bahu sempit yang lebih pendek, merasa kasihan anak ini hanya diam memeluk dua piring plastik dengan pandangan lurus menatap proses penurunan sang ibu.
Lava mendongak, menatap Ulin yang tengah tersenyum kearahnya. Kepala Lava menggeleng menjawab, lalu tatapannya Lava bawa untuk memandang tubuh sang ibu.
Lava tidak mau melewatkan satu detik pun tanpa melihat Salsa. Karena yang Lava tau, mungkin ini adalah hari terakhir ia bisa melihat Salsa meskipun tanpa suara.
***
"Din," Seorang pria memanggil istrinya yang tengah membuat kue didapur.
Wanita itu pun mengangkat wajahnya. Tersenyum saat mendapati suaminya berdiri disampingnya. "Kenapa? Kuenya belum mateng."
Menghela nafas. "Bukan itu."
"Kamu ada masalah dikantor?"
"Bukan."
"Kenapa sih mas? Ngomong tinggal ngomong, jangan kayak adek deh."
Sekali lagi, helaan nafas panjang terdengar. Memantapkan hati untuk kembali mengungkit luka lama yang telah dilupakan sang istri dengan susah payah.
"Din, Salsa bunuh diri," Ucapnya hati-hati, takut menyinggung sang istri karena membawa topik yang selalu dihindari istrinya.
Gerakan tangan si wanita sempat terhenti, sebelum akhirnya kembali melanjutkan gerakannya. "Terus? Bagus lah, aku nggak perlu turun tangan buat bunuh pelakor itu."
"Din ... Masalahnya, anak—," Menelan ludahnya. "Anak Salsa maksudku, dia, gimana? Dia nggak punya siapa-siapa sekarang."
"Terus?"
Menatap istrinya penuh harap. "Din... "
***
Suara tangisan Lava terdengar keras diarea pemakaman. Masih sama seperti tadi, memeluk dua piring plastik, menangis memandangi tubuh sang ibu ditimbun oleh tanah.
Lava menolak mengganti bajunya, Lava juga melarang Ulin mengambil piring dipelukannya. Lava terus mengikuti kemana tubuh sang ibu dibawa dan berakhir dipemakaman yang tak jauh dari rumahnya.
Mendongak menatap Ulin. "Ibu Lava," Jari telunjuk kecilnya menunjuk kearah gundukan tanah yang baru saja selesai dilaksanakan.
Ulin berjongkok, merangkul anak kecil yang tengah menangisi kepergian ibunya. Satu-satunya orang yang menemaninya selama empat belas tahun ini.
"Ibu Lava nggak ada," Bibir kecilnya melengkung kebawah, terus menangis keras disamping gundukan tanah yang masih basah.
"Lava masih punya pak Ulin. Pak Ulin temenin Lava ya, mulai sekarang?"
"Nggak mau ditemenin, Lava mau ibu."
"Kita beli sepeda yang Lava ceritain kemarin yuk? Yang warna merah itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Lava Cake [Completed]
AcakLava si anak tengil. Mungkin jika melihat dari sikap Lava sekilas, kalian akan mengatakan seperti itu. Lava si anak pembangkang, tidak memiliki sopan santun, dan memiliki tutur bahasa yang kasar. Kalian tau, kan? Dibalik kerasnya cangkang kepiting...