BLC | CH-03

11K 1.1K 27
                                    

Keesokan harinya, Lava memutuskan untuk tidak berangkat sekolah. Memilih bermain dihalaman rumah sejak matahari masih terbenam.

Entah apa yang dipikirkan oleh Lava.

Deretan tanah kering yang Lava cetak memenuhi separuh halaman rumah. Lava terus mencampur tanah dan air, lalu mencetaknya menggunakan mangkuk plastik tanpa henti.

Lava terus melakukannya hingga pakaian bagian depannya kotor terkena tanah. Bahkan sebagian sudah mengering.

Matahari meninggi, namun tidak ada niatan dalam diri Lava untuk menghentikan apa yang tengah ia lakukan.

Suara nyanyian lirih terdengar. Mengiringi suasana sunyi sepi dihalaman rumah Lava.

Berjarak beberapa meter dari posisi Lava saat ini, sepasang suami istri menatap Lava dari kejauhan. Menyaksikan apa yang dilakukan Lava saat ini.

Ardian—menoleh kesamping menatap Ulin. "Dia lagi ngapain?"

Mengangkat bahunya. "Sepulang sekolah kegiatan dia juga kayak gitu. Tapi, hari ini dia nggak sekolah," Malas sebenarnya harus meladeni dan menyambut teman yang sudah tidak ia anggap ini.

Ardian adalah ayah dari tiga orang anak. Hasil dari pernikahannya dengan Medina—wanita yang sudah lebih dari dua puluh tahun menjadi teman hidupnya.

Ditahun keempat pernikahan, Ardian menodai pernikahannya dengan menjalin hubungan secara diam-diam dengan seorang perempuan bernama Salsa yang mencuri perhatiannya saat berkunjung kerumah temannya—Ulin.

Sosok gadis sederhana, humoris, dan manis.

Ardian tidak mengatakan jika ia sudah berumah tangga dan memiliki dua orang putra. Bahkan, saat itu istri Ardian tengah hamil anak ketiga mereka. Tidak heran jika Medina sangat membenci Salsa.

Singkatnya, saat Medina mengetahui fakta tentang perselingkuhan Ardian, Medina dengan mudah memaafkan dan mau memulai lembaran baru bersama Ardian.

Dengan syarat, Ardian tidak boleh berkomunikasi lagi dengan Salsa, dan juga janin yang ada pada Salsa.

Ya, fakta menyakitkan kedua yang Medina terima saat itu. Pertama perselingkuhan, lalu hasil perselingkuhan antara Ardian dan Salsa membuahkan keturunan.

Medina mengajukan syarat. Ardian tidak boleh menganggap janin itu anaknya, tidak boleh memberikan nafkah dan juga hak yang seharusnya didapatkan dari sosok ayah. Baik itu dari segi finansial, maupun kasih sayang yang seharusnya putra dari Salsa dapatkan.

Medina ingin mengubur semua itu dalam-dalam. Seakan bau bangkai yang harus dibersihkan dan tidak boleh tercium kembali.

"Siapa namanya?" Tanya Medina ketus. Kedua matanya memandang lurus, tepat pada si anak hasil perselingkuhan suaminya itu.

Ulin menghela nafas. "Lavandra Aksama Yanda. Panggilannya Lava, dan aku yang ngasih dia nama."

"Lava," Gumam Ardian memanggil nama sang putra.

"Namanya jelek," Komentar Medina. "Ibunya nggak becus—,"

"Lava emang nggak pernah diurus Salsa sejak kecil," Sela Ulin.

Mungkin jika Ardian sedikit lebihnya tau tentang Lava. Diam-diam Ardian menyuruh seseorang untuk mengintai rumah Salsa, lalu memberikan informasi mengenai kondisi putranya. Namun Medina? Medina tidak pernah tau tentang Salsa dan anaknya.

"Karna ibunya gila?"

Menghela nafas. "Begitulah," Ulin mengangkat wajah, menatap Ardian dari samping. Ardian tak mengalihkan pandangan sedikitpun dari Lava. "Yan."

Ardian menoleh menatap Ulin. "Kenapa?"

"Lava anakmu."

"Ya—,"

"Anakmu, Lava, dia butuh kamu. Sebagai ayahnya. Beri dia perlindungan, yan. Dia juga punya hak sebagai anak. Dia nggak bisa melindungi dirinya sendiri."

Alis Medina menukik, tak terima jika Ardian harus bertanggung jawab atas Lava. "Hei—,"

"Lava dibully," Bisa ia lihat, Medina dan Ardian langsung menatapnya. "Dia sekolah, yan. Udah kelas tiga SMP sekarang."

"Di-bully kenapa?" Tanya Ardian tanpa disadari.

Tersenyum tipis. "Anakmu itu suka banget kalo disuruh cerita. Crewet lah istilahnya. Kadang juga cengeng, tapi menurutku Lava banyak kuatnya daripada lemahnya. Anak kuat sejak dalam kandungan?" Ulin tertawa kecil setelahnya.

"Lin," Panggil Ardian. "Gimana ... Aku ngenalin diri ke Lava ... Aku nggak tau, Lin."

Menepuk punggung Ardian. "Coba kamu dekati dia. Ajak bicara, dia bukan anak yang pemalu, jangan liat wajahnya aja. Karakter sama penampilannya beda."

"Aku ragu—,"

"Ayo," Ulin merangkul bahu Ardian. Membawa langkahnya ke halaman rumah Lava, diikuti Medina dibelakang. Wanita itu tampak setengah hati membawa langkahnya.

"Lavandra."

Yang dipanggil langsung menoleh. "Om lilin."

"Buat kue lagi?" Ulin berjongkok dihadapan Lava. Sepertinya, Lava sedang membuat adonan lumpur.

Menyengir. "Ini blownies ibu kantin, yang ini loti pelangi, yang ini kue ulang tahun. Om lilin mau beli?"

Ulin tersenyum lebar. Jika panggilan om lilin sudah terdengar, berarti Lavandra sudah kembali bangkit dari rasa sedihnya. Mungkin?

"Udah makan?"

Menggeleng. "Om lilin nggak punya ayam goleng."

"Enak aja," Menarik hidung Lava main-main.

"Om mau beli loti Lava juga?" Tanya Lava pada Ardian sembari mengangkat adonan lumpur keudara.

Ardian tersenyum kecil, lalu menyamakan tingginya dengan Lava. Berjongkok dihadapan putranya. "Mau kenalan sama om?"

"Emang dapet apa kalo Lava kenalan sama om."

"Apapun," Lirih Ardian. Entah kenapa kedua matanya terasa panas, dadanya penuh dan sesak melihat penampilan putranya yang ini.

Jauh berbeda dengan tiga putranya yang lain.

"Sebenelnya sih Lava lagi pengen sepeda walna melah om. Om mau beliin? Kalo mau, Lava juga mau kenalan sama om. Walaupun om nggak memenuhi syalat olang yang boleh kenalan sama Lava."

"Heh!" Ulin menarik pipi Lava gemas. "Nggak sopan, baru ketemu masak minta-minta sepeda kayak gitu."

Menyengir, kemuduan menunduk, kembali mengaduk adonan tanah diwadah.

"Va... "

"Apa? Om lilin tolong jalan ganggu kosentlasi Lava. Lava lagi buat adonan kue, nanti kue Lava bantet semua."

"Gimana kalo om Ardian itu ayahnya Lava?"

Suasana langsung hening ketika perkataan Ulin terlontar dengan lancar. Ulin hanya tak suka banyak basa-basi lagi. Cukup. Lava juga berhak atas Ardian.

Lava mengangkat wajahnya. Menatap Ulin yang menatapnya teduh, beralih menatap Ardian yang terdiam sambil menatapnya. Dan terkahir, Lava mendongak menatap satu-satunya wanita disini.

Mata bulat itu berkedip beberapa kali. Lalu menunduk lagi, menatap kakinya yang kotor penuh lumpur.

"Oh ... Papa Lava, ya?"

Bukan Lava Cake [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang