Percaya? Tidak ada karakter jahat disini. Mereka hanya manusia biasa yang memeluk luka mereka sendiri.
Jika Medina sakit hati karena suaminya bermain belakang dengan wanita lain, Ardian kecewa pada dirinya sendiri karena membiarkan air mata melewati pipi istrinya.
Salsa adalah korban. Ia tak tau kalau Ardian sudah berumah tangga, menyerahkan kehormatannya dengan mudah karena dibutakan cinta.
Untuk ketiga putra kandung Medina dan Ardian, mereka kecewa dan marah kepada sosok Papa yang selalu terlihat keren dimata mereka, lalu tanpa aba-aba membawa kabar buruk. Jika ia mempunyai anak selain mereka, dan pernah menyakiti hati Mama.
Ekspetasi mereka tentang Papa yang hebat, Papa yang mencintai Mama, sedikit memudar karena kenyataan masalalu.
Dan terakhir, untuk Lava. Entah benar atau tidak, diantara luka yang mereka miliki, Luka Lava yang paling menyakitkan.
Jika mereka bisa sembuh setelah waktu berjalan meninggalkan kepahitan, nyatanya Lava terus dibayangi terus menerus. Diingatkan tentang rasa kecewa, seolah luka yang Lava miliki harus menganga terus menerus tanpa diperbolehkan untuk sembuh. Karena Lava adalah anak diluar pernikahan.
Kalimat klasik yang mewakili Lava, apakah Lava meminta untuk dilahirkan? Saat tau ia berada didunia pun Lava tidak tau kenapa ia bisa bernafas disini. Kenapa ia bisa melihat keindahan yang Tuhan ciptakan untuk mengisi alam semesta yang sangat luas ini.
Apalagi kalau bukan takdir?
Takdir tidak bisa dirubah. Manusia hanya bisa menerima dan ikhlas.
Lava memang ikhlas dengan takdirnya yang selalu ditempeli label, kalau ia anak haram.
Tapi, apakah mereka mau mendengarkan suara keluhan Lava? Sudah berulang kali Lava mengatakan. Anak haram juga punya hati.
Andai saja Lava dilahirkan dari rahim mama Medina, pasti hidupnya akan bahagia sejak ia menghidup udara untuk pertama kali.
Lava tidak menyesal lahir dari rahim Salsa. Lava hanya berandai saja. Disaat ia lelah dengan seruan kasar mereka. Lava hanya menghibur diri saja.
Lava melirik kearah Marel saat merasakan usapan lembut dipipinya. Ia terbaring terlentang ditengah-tengah kasur milik Marel.
Membiarkan tubuhnya terekspos dan diusap menggunakan handuk kecil.
"Kenapa nangis?"
Berkedip pelan. Membiarkan air matanya kembali turun melewati pipi tirusnya. "Kalena Lava lagi sedih."
"Anak halam juga bisa sedih," Lanjut Lava.
"Bukan gitu," Berdecak. Marel mengangkat tangan Lava, lalu mengusap ketiak dan dada Lava. "Gue juga nggak peduli kalo Lo nangis."
Marel kira, setelah mengatakan itu, ia akan mendengar balasan menyebalkan seperti biasanya. Akan tetapi kali ini berbeda. Lava hanya berkedip pelan menyorot kearah wajahnya.
Anak ini banyak diam.
"Masih pusing?" Lava mengangguk menanggapi.
Setelah selesai mengelap tubuh Lava, Marel langsung memakaikan pakaian yang baru ditubuh mungil adiknya. Marel juga menyisir rambut Lava yang tampak lepek.
Dia tatap wajah Lava yang tampak sayu. Anak itu masih menangis tanpa suara, entah apa yang membuat Lava merasa sedih.
Marel mengangkat tubuh kecil Lava kegendongannya. Mengusap punggung sempit itu saat isak tangisnya terdengar.
"Stt," Mengayunkan kakinya pelan, sembari mengusap punggung sempit Lava.
"Kepalanya pusing. Mau mama."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Lava Cake [Completed]
AléatoireLava si anak tengil. Mungkin jika melihat dari sikap Lava sekilas, kalian akan mengatakan seperti itu. Lava si anak pembangkang, tidak memiliki sopan santun, dan memiliki tutur bahasa yang kasar. Kalian tau, kan? Dibalik kerasnya cangkang kepiting...