BLC | CH-23

11.3K 1.4K 72
                                    

Setelah menempuh perjalanan cukup jauh, akhirnya mobil yang dikendarai Ardian sudah terparkir dihalam rumah kedua orang tuanya.

Dari balik kaca mobil, Ardian dapat melihat kedua orang tuanya berdiri berdampingan diteras. Sudut bibirnya tertarik keatas kala melihat sang ibu tersenyum lebar. Seperti tak sabar menunggu.

"Iuh!" Teriakan itu berasal dari Mavel, membuat Ardian dan Medina menoleh kebelakang. "Bangun Lo!" Sembari mengguncang tubuh adiknya yang masih terlelap.

"Abang."

Menatap Medina. "Ngiler ma, jijik ah."

"Nanti dilap."

"Tapi bau," Rengek si sulung. Mavel menunduk, memandang adiknya yang mulai terusik. Mungkin karena ia berteriak dan mengguncang tubuh Lava.

Lava menatap sekitar. Dahinya mengernyit, merasa sudut bibirnya basah dan tak nyaman.

Mavel mendorong kepala Lava. "Enak aja mau dilap pake baju gue."

"Ributnya nanti dulu," Ardian menengahi. "Itu, Mbah uti sama Kakung udah nungguin diteras."

***

"Medina," Lestari--ibu Ardian menyambut menantu kesayangannya dengan antusias. Bahkan memeluk dan mencium Medina dengan sayang. Lestari begitu menyayangi Medina.

Medina memberi jarak. "Ibu sehat?"

"Sehat dong, apalagi ada menantu ibu disini. Makin sehat!"

Tertawa kecil. Sejak menjadi istri Ardian, Medina tak pernah mendapatkan perlakuan buruk dari mertuanya.

Lestari juga tidak pernah mengumbar aib menantu kepada tetangga sekitar, meskipun Medina membuat kesalahan. Setidaknya, Medina bersyukur mendapatkan mertua seperti lestari.

Medina menoleh kearah putra kandungnya. "Salim sama Mbah uti, kok malah diem aja."

Mavel, Marel, dan Miki menyalimi Lestari dan Tio––ayah Ardian secara bergantian.

"Ayo masuk! Uti udah buatin makanan enak-enak buat kalian–,"

"Itu anakmu yang lain, yan?" Pertanyaan yang terlontar dari mulut ayah Ardian membuat suasana menjadi sunyi.

Lestari yang tadinya fokus melepas rindu dengan ketiga cucunya pun langsung menatap Ardian. Lebih tepatnya, menatap punggung sempit digendongan Ardian.

Ardian menghembuskan nafasnya. "Iya, yah. Namanya Lavandra. Dia–,"

"Anak selingkuhan kamu?" Sela Lestari mengajukan pertanyaan.

"Bukan," Medina yang menjawab. "Lavandra anakku, Bu. Bukan anak selingkuhan mas Ardian."

Jika ditanya, apakah Lestari membenci cucunya yang tak terlahir dari rahim Medina? Jawabannya, tidak tau.

Lestari tidak membenci, tapi juga tidak menyayangi. Atau mungkin belum.

Mau bagaimanapun asal usul cucu bernama Lavandra itu, tetap saja, darah Ardian––putranya mengalir ditubuh anak itu.

Tatapan Lestari jatuh pada Medina. Menantunya, menerima anak hasil perselingkuhan putranya yang tak bersyukur itu. Mau merawat. Dan dilihat-lihat, sepertinya Medina memang menyayangi anak Ardian dan selingkuhannya.

Lestari merangkul bahu Medina, ia tersenyum manis kepada menantunya. "Ayo, ibu udah masak banyak buat kalian. Habis makan, baru boleh berenang."

Lestari menggiring Medina untuk masuk kedalam rumah. Sedangkan Tio, pria itu merangkul ketiga cucunya.

"Cucu Kakung udah tinggi banget. Kakung kalah nih," Suara itu terdengar samar.

Ardian menghela napasnya. Menundukkan kepala, menatap putra bungsunya yang kini menatapnya sayu. Anak itu menguap.

Bukan Lava Cake [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang