Disaat Papa dan ketiga kakaknya belum selesai bersiap-siap, Lava sudah duduk manis mendahului mereka sembari menikmati susu putih hangat yang baru saja dibuatkan Medina.
Rambut kecoklatannya sudah tertata rapi, seragam baru juga sudah melekat ditubuh kecilnya.
Mulut Lava terus bergerak memainkan sedotan. Kedua kakinya mengayun, ia merasa bosan. Medina tak kunjung selesai menyiapkan sarapan, dan ayah serta ketiga saudaranya belum juga selesai bersiap.
"Mama!" Teriak Lava sambil menatap lubang sedotan.
"Sebentar ya, sayang," Balas Medina dari dapur.
"Pagi-pagi udah teriak-teriak."
Lava langsung menoleh. "Abang! Kaget!" Spontan mulutnya berkata seperti itu. Bukan sok kenal, tapi memang reflek saja karena terkejut dengan suara Mavel yang tiba-tiba.
Tak ada ekspresi yang Mavel tunjukkan. Tanpa berkata lagi, ia duduk dikursi yang biasa ia tempati.
Tak lama, Rofi datang membawa sepiring bakwan sayur. Sengaja meletakkan didekat Lava, memandang sinis si tuan kecil.
"Akh! Sakit!" Mata Lava berlapis air, menyorot Rofi yang baru saja mencubit kecil lengannya.
"Eh, kenapa den?"
Saat Rofi lebih mendekat, Lava langsung turun dari kursi dan berlari kearah Mavel. Menyembunyikan dirinya dibelakang Mavel, seolah meminta perlindungan.
Menoleh kebelakang. "Kenapa sih? Nggak sopan. Bi Rofi tanya baik-baik, malah kabur," Mencengkeram lengan Lava.
"Itu nenek sihil, aku takut. Mukanya jelek banget, nggak pelnah pake sekingkel kayaknya," Mendongak menatap Mavel. "Iya kan, Cok?"
Tatapan Mavel berubah tajam. "Apa?"
Berkedip beberapa kali. "Cok– akh! Jancok!" Kepalan tangan Lava mendarat tepat diwajah Mavel. Membuat sang empu memejamkan mata saat menerima pukulan yang tak seberapa itu. Salah Mavel mencengkeram erat lengannya, bahkan sampai memerah.
"Lavandra."
"Salah sendili pencet-pencet tangan Lava."
"Karena kamu ngomong kasar."
Dahi Lava sontak berkerut. "Emang kasal? Tapi kata Aken enggak. Itu bahasa kelen. Kalo ngomong, Jancok! Lava jadi keliatan sangal. Lava mau coba sama papa–,"
"Mau ngomong kasar kayak gitu?" Satu alis Mavel terangkat. Merasa heran. Sebenarnya Lava tau arti kata yang dia ucapkan tidak, sih?
"Ih!" Menghentakkan satu kakinya. "Itu bahasa sangal, bukan kasal!"
Mavel mendengus. Menarik anak sok tau itu lebih mendekat kearahnya, meremat lemah bahu Lava.
"Lavandra."
"Yes, Daddy."
Memutar matanya malas. "Kata itu nggak baik diucapkan. Karena artinya emang nggak bagus. Apalagi kamu mau ngomong kayak gitu sama papa? Itu namanya nggak sopan."
"Tapi kata–,"
"Diem! Sekali lagi Abang denger kamu ngomong kayak gitu, Abang pukul mulutnya sampe berdahrah. Bahkan sampe gigi kamu copot. Biarin nggak punya gigi sekalian."
Rofi bergidik ngeri mendengarnya. Ia berjalan menjauh, meninggalkan kakak dan adik yang entah sadar atau tidak, mereka terlihat seperti saudara pada umumnya.
Si kakak yang menasehati adik.
***
Lavadra si bungsu Arshaka itu berjalan dengan riang dikoridor, menuju kelasnya. Melompat, sesekali menghentikan langkah, kemudian memamerkan seragam baru yang ia pakai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Lava Cake [Completed]
AcakLava si anak tengil. Mungkin jika melihat dari sikap Lava sekilas, kalian akan mengatakan seperti itu. Lava si anak pembangkang, tidak memiliki sopan santun, dan memiliki tutur bahasa yang kasar. Kalian tau, kan? Dibalik kerasnya cangkang kepiting...