Author POV
"Heh pembawa sial! Bisa yang bener ga sih?!" Feni membentak Gita sambil menjambak rambut adiknya hanya karena Gita tidak sengaja menumpahkan air ke atas sepatunya.
"Maaf ka Fen, Gita ga sengaja." jawab Gita sambil meringis sakit.
"Loe sengaja, kan? Ga suka loe sama gua?" ujar Feni, didorongnya tubuh adiknya itu dengan kuat sampai Gita terjatuh.
"Ck masih pagi udah ribut aja kenapa sih?" Gracia yang baru saja turun dari kamarnya bertanya tanpa simpati pada Feni.
"Ini nih, anak sialan ini tumpahin air ke sepatu aku." jawab Feni kesal.
"Udahlah, mending sarapan." Gracia mendorong tubuh Gita yang masih di lantai dengan kakinya sebelum menuju ke meja makan.
Gita menoleh, menatap sang ayah yang hanya diam melihat perlakuan kedua kakaknya. Gita tersenyum getir, ia bangkit dari jatuhnya dan kembali ke kamarnya.
Di depan cermin, ia bisa melihat wajah segarnya pagi tadi berubah berantakan. Ia rapikan rambut dan wajahnya agar nampak lebih baik. Cardigan yang kotor, ia lepas dan ia ganti dengan jaket untuk menutupi memar di tangannya.
Memar? Iya, dia hampir mendapatkan itu setiap hari. Pukulan dari dua kakaknya jika mereka sedang kesal, entah itu dia penyebabnya atau bukan.
Dia masih bisa menahan itu, hal yang tidak bisa ia tahan adalah rasa sakitnya ketika sang ayah hanya diam tanpa menghentikan siksaan yang ia alami.
Gita sendiri tidak tahu kenapa ia disebut pembawa sial, yang ia tahu, ia sudah mendapatkan perlakuan buruk semenjak dirinya masih sangat kecil.
Dia melirik foto sang ibu di atas meja riasnya. Satu-satunya foto ibunya yang ia miliki.
"Ma, kalo mama masih ada, mama anggep aku pembawa sial juga ga?"
Gita meraih tas sekolahnya lalu segera keluar dari kamarnya. Ia lewati ruang tamu sambil melirik arah ruang makan dimana keluarganya sedang menikmati sarapannya.
Dinaikinya motor bebek hasil jerih payahnya itu dan ia pacu menuju sekolah. Sepanjang perjalanan berkali-kali ia menghela nafasnya. Menatap sekitar melihat anak-anak jalanan yang sudah mencari uang di usia dini mereka. Yaa, walaupun perlakuan keluarganya begitu kejam, setidaknya dia masih memiliki tempat untuk berlindung dan uang untuk makan.
Gita langsung melangkahkan kakinya menuju kelas sesaat setelah dirinya sampai di sekolah. Langsung ia buka novel miliknya yang sengaja ia tinggalkan di sekolah dan tenggelam dalam dunianya sendiri.
Sebuah kotak makan terdorong ke depannya ketika ia masih fokus pada novelnya. Ia menoleh, mendapati Eli menatapnya dengan kesal.
"Nih, nasi goreng dari emak gua. Tinggal aja loe di rumah gua kalo tiap hari mau sarapan ginian." ucap Eli kesal.
"Bilangin makasih ke tante ya." Gita tersenyum, meraih kotak makan yang disodorkan Eli dengan lahap.
Eli yang tadinya kesal, merubah raut wajahnya. Ekspresi Gita yang selalu excited ketika menerima nasi goreng dari ibunya tidak pernah gagal membuatnya terenyuh.
Gita tersedak karena makan terlalu cepat. Eli-pun dengan cepat menyodorkan tempat minumnya. Lagi-lagi Eli kesal, inilah yang akan ia lihat setiap hari, Gita keselek.
"Pelan-pelan elah. Gak cape apa tiap hari keselek mulu. Gaada yang minta, gua aja enek cuman liatin loe tiap hari sarapan itu." ujar Eli menepuk pundak Gita.
Gita meringis, membuat Eli terkejut. Tepukkannya tidak sekuat itu untuk membuat Gita meringis. Ditariknya jaket yang dipakai Gita, ia melotot ketika melihat memar di tangan Gita.