Author POV
Cindy Hapsari, detektif terkenal yang begitu disegani di wilayahnya. Memiliki partner seorang gadis keturunan tionghoa yang setia menjadi sahabatnya sejak dia masih di bangku sekolah, memilih mengikuti jejak sahabatnya karena memiliki kesamaan menyukai misteri dan teka-teki, Celline.
Keduanya tengah duduk berhadapan dengan beberapa berkas di tangan mereka. Cindy meletakkan kertas di tangannya dengan kasar. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan kesal.
"Loe masih mau cari orang ini? Gaada petunjuk, lupain deh. Mungkin emang mereka bunuh diri aja." ucap Cindy dengan kesal.
"Ga, gua yakin ada dalang di balik ini. Tiga kali dalam dua minggu kasus remaja bundir selama tiga bulan. Itu ga wajar, Cin. Mana caranya hampir sama, gantung diri." jelas Celline tanpa menoleh ke Cindy.
"Banyak orang yang mikir kalo gantung diri itu ga sakit, apalagi ini remaja loh. Mereka ga berpikiran pendek aja ga sih? Belakangan emang banyak anak remaja yang konsul ke dokter jiwa."
Celline tidak menjawab, dia membuka laptopnya, membuka gambar yang sudah dia simpan belakangan ini dan memutar laptopnya ke arah Cindy.
"Mereka sama-sama nulis surat wasiat, itu wajar. Tapi kalo tulisan tangan surat wasiat itu sama, apa itu wajar? Beberapa hari lalu, ada beberapa jasad yang diperiksa, 3 dari 3 punya kerusakan parah di tulang rusuk mereka."
Cindy reflek menegakkan duduknya untuk melihat apa yang ditunjukkan oleh Celine. Cindy memperbesar dan memperkecil tulisan itu berkali-kali untuk meyakinkan dirinya jika tulisan di beberapa surat itu memiliki tipe yang sama.
Celline tersenyum kecil ketika dirinya berhasil menarik perhatian Cindy pada kasus yang menurutnya cukup mencurigakan ini.
"Loe bener, ga mungkin anak-anak ini punya tipe penulisan yang sama." ucap Cindy.
"Minta tolong ke bawahan loe bawa beberapa untuk dicek pake handwriting recognition, kita pastiin dulu tulisan ini punya satu orang yang sama." lanjutnya.
Celline mengangguk mengiyakan. Ia ingin mengungkap kasus yang sudah mengganggunya beberapa bulan terakhir.
Dering ponsel Celline memecah fokus mereka. Cindy melirik, membaca nama yang tertera di sana, ia tersenyum.
"Angkat dulu tuh, Jinan loe nyariin."
Celline tersenyum malu, ia raih ponselnya lalu berjalan menjauh dari Cindy, sedangkan Cindy terkekeh melihat respon sahabatnya.
Kembali ia fokuskan dirinya pada laptop dan kertas-kertas di hadapannya dengan serius. Membolak-balik halaman kertas sambil berpikir keras.
Dia tidak akan memikirkan kasus ini jika saja Celline tidak menunjukkan tulisan terakhir dari para korban. Ia buntu, tidak ada petunjuk apapun, semuanya begitu bersih seolah dilakukan oleh profesional. Hasil tulisan tangan itulah satu-satunya bukti mereka.
Namun ada ribuan orang di kota ini, tidak mungkin mereka bisa mengidentifikasi tulisan semua orang. Tidak adanya cctv di lokasi kejadian-pun akhirnya mempersulit penyelidikan hingga membuat tim penyidik menganggap ini kasus bunuh diri biasa dan berakhir menutup kasusnya.
Atensi Cindy kini teralih pada Celline yang kembali masuk dengan langkah terburu-buru.
"Jinan kasih tau gua kalo ada lagi kasus yang sama. Kita ke sana."
Cindy terkejut, baru kemarin kasus ini terjadi dan hari ini terjadi lagi? Namun tak lama ia mengangguk, segera ia raih tas dan ponselnya lalu pergi dari kantornya diikuti oleh Celline.
Keduanya menemui Jinan yang tengah berbicara dengan ibu korban. Ikut mendengarkan apa yang dibicarakan oleh mereka.
"Belakangan ini dia sering bilang kalau ada yang mengikutinya sampai ia ketakutan. Saya pikir itu hanya halusinasinya saja, tapi ternyata dia ketakutan sampai tidak ingin ke sekolah."
![](https://img.wattpad.com/cover/355762725-288-k414807.jpg)