11. Ketahuan

153 19 1
                                    

[Akses baca cepat bisa kalian dapatkan di Karyakarsa kataromchick. Atau kalo mau langsung baca end, beli e-book di google play cari aja 'Faitna YA'. Happy reading ❤️]


Orangtua mana yang tidak akan menyadari sesuatu yang berbeda terjadi pada kehidupan anak mereka? Papa dan mama Sebasta tentu saja termasuk yang sudah berpengalaman dengan baik soal pernikahan. Tidak sulit menebak apa yang terjadi pada rumah tangga anak mereka. Tidak sulit untuk membedakan sifat sang menantu yang biasa dan yang sekarang. Mereka juga bisa merasakan dan melihat ketegangan yang ada diantara Sebasta dan Elira.

"Kamu masih berhubungan dengan perempuan itu?" ucap Subhan, Papa Sebasta.

Elira diajak bicara oleh istri Subhan, dan pria itu memilih untuk mengajak Sebasta bicara dengan dalih merokok dan menikmati kopi bersama di teras rumah sang anak.

Sebasta dan Subhan sudah tahu perempuan itu yang mana yang sedang dibicarakan. Letizia bukan topik asing bagi Sebasta dan orangtuanya, jadi bukan hal yang sulit untuk menangkap itu.

"Dia atasanku di kantor, Pa."

"Dan masih kamu berikan ruang untuk mudah masuk ke kehidupanmu? Kalo sebatas atasan, rasanya istrimu nggak perlu cemas sampai menanyakan kenapa hubungan kamu dan kami sebagai orangtua begitu canggung. Elira mencari tahu mengenai alasan dibaliknya. Ini pasti ada hubungannya dengan kecurigaannya terhadap perempuan itu."

Dari sekian banyak yang terjadi, Sebasta merasa baru kali ini dia bicara kembali dengan benar bersama papanya. Dan yang dibahas adalah mengenai masalah rumah tangga Sebasta yang melibatkan orang ketiga. 

Sebasta menyesap kopinya perlahan sebelum menimpali papanya. Subhan mengamati sang putra yang tidak kalah resahnya.

"Dari awal Papa sudah pernah bilang supaya kamu meneruskan usaha keluarga. Tapi mimpimu untuk menjadi seorang atasan di sebuah perusahaan besar nggak bisa dihentikan. Kalo Papa mau menyalahkan salah satu pihak di sini, itu adalah Papa sendiri. Karena nggak bisa menahan kamu untuk meneruskan usaha keluarga."

Ucapan itu membuat Sebasta semakin tertebani. Dia merasakan sesuatu menimpa pundaknya dengan keras. Subhan yang menyalahkan dirinya sendiri adalah salah satu sindiran tidak secara langsung yang menyakitkan. Padahal sudah jelas yang salah bertindak di sini adalah Sebasta sendiri.

"Setiap rumah tangga pasti ada konfliknya. Papa hanya bisa berdoa supaya kalian bisa menyelesaikan konflik ini tanpa harus ada keputusan menyedihkan lainnya. Jangan sampai ada hal semacam itu yang terjadi. Jangan sampai cucu Papa nggak mendapatkan apa yang seharusnya bisa didapatkannya seperti anak lainnya."

Sebasta juga tidak ingin ada kejadian seperti itu. Namun, yang sekarang terbentang di kepala Sebasta adalah, apakah dirinya bisa mengabulkan keinginan orangtuanya mengenai cucu disaat Elira menolak memiliki anak bersama Sebasta? Apalagi sekarang Elira terlihat seperti tidak tersentuh sama sekali. Sebasta tidak bisa menang jika terus menggenggam bara api bernama Letizia.

"Kalo Papa bertanya mengenai perasaan kamu sekarang, rasanya sudah sangat terlambat. Papa pikir memang kamu bisa menjadi suami yang mencintai istrimu tanpa menduakannya—"

"Aku nggak menduakannya, Pa."

"Secara hubungan mungkin memang tidak. Tapi hatimu terbagi. Jika tidak, Elira tidak akan mempermasalahkannya."

Subhan adalah seorang pria, mudah baginya untuk mengerti isi hati sang putra. Dia sedari awal menyukai Elira untuk dicalonkan sebagai mantu karena tahu bahwa perempuan itu bisa menemani Sebasta dan menjadi tempat pulang yang tidak macam-macam. Kehidupan pernikahan yang sederhana adalah apa yang selama ini Subhan jadikan contoh bagi anaknya itu. Namun, siapa sangka Sebasta menginginkan jabatan tinggi, kehidupan modern, dan hampir menginginkan seorang perempuan yang tidak sebanding dengan keluarga yang Subhan bangun.

"Maafkan Papa." Subhan berkata. "Semoga permintaan maaf ini belum terlambat untuk kamu. Mungkin Papa dan mama memang sangat bersalah karena tidak mendengarkan apa yang kamu mau. Semoga ada jalan keluar untuk memperbaikinya. Hanya itu yang bisa Papa katakan. Maaf, Sebasta. Semoga hatimu bisa luluh dan melupakan kejadian lama, meneruskan kehidupanmu yang sekarang bersama Elira. Jika tidak ... Papa nggak bisa apa-apa."

Ah, entah kenapa ucapan itu terdengar begitu menyedihkan bagi Sebasta. Kenapa papanya sudah lebih dulu menyerah? Apa tidak ada kalimat yang bisa menyemangati Sebasta untuk mempertahankan keluarganya? Apa seburuk itu yang terlihat di mata orang lain mengenai rumah tangganya?

*** 

Pada keesokan harinya, Sebasta meneguhkan diri untuk mempertemukan istrinya dan Letizia. Itu harus dilakukan, sebab Elira sendiri yang harus menilai kondisi mereka. Sebasta juga ingin membuat Letizia mundur dengan sendirinya karena tindakan ini. Ada sedikit rencana untuk merelakan apa yang didapatkannya sekarang ini. Tidak berhutang budi pada Letizia jelas lebih baik untuk kondisi pernikahannya.

Rapat di ruangan Letizia akhirnya selesai dalam waktu 1,5 jam. Wanita itu memang hebat sebagai seorang pemimpin, mungkin karena sudah dibiasakan sejak kecil. Jeli melihat peluang dan pengeluaran perusahaan juga menjadi salah satu yang terkenal. Sebasta tidak bisa mengatakan Letizia pelit seperti karyawan lainnya, karena wanita itu memang memperlakukan Sebasta dengan berbeda. Namun, bukan itu yang menjadi permasalahannya.

Sebasta menunggu karyawan lainnya pergi sebelum pintu ruangan Letizia yang besar itu kembali tertutup.

"Hei, kamu ada masalah?" tanya Letizia mengubah nada bicaranya, tak seperti saat memimpin rapat tadi.

"Nanti malam ada acara?" tanya Sebasta langsung.

Ekspresi Letizia langsung berubah, penuh cahaya, berseri-seri ketika pertanyaan itu ditafsirkan lain dari yang Sebasta niatkan.

"Aku akan selalu luang untuk kamu. Katakan, kita akan makan malam dimana?"

Pertanyaan itu tidak salah, hanya saja harapan di dalamnya yang tidak tepat. Sebasta tahu seharusnya dia tidak menyembunyikan alasannya mengajak Letizia untuk bertemu nanti malam. Karena wanita itu memiliki keinginan lain. Namun, belum tentu Letizia akan sukarela datang jika Sebasta mengatakan mengenai pertemuan mereka bertiga.

 "Di tempat yang lebih sederhana, apa kamu mau?" tanya Sebasta.

"Tempat yang lebih sederhana? Seperti apa? Namaaz? Pasola?"

Sebasta menggelengkan kepalanya kuat. "Semua yang kamu sebutkan itu sama sekali nggak sederhana. Semuanya kelas atas bagiku, Zi."

Letizia memutar bola matanya dengan kalimat, "Oh, come on! Aku tahu gaji kamu yang sekarang sangat cukup untuk menghabiskan makan malam di sana. Kamu bukan karyawan yang dulu, Bas. Kamu sekelas denganku sekarang."

Sekali lagi Sebasta menggelengkan kepalanya keras. "Kita nggak sama, Zi. Sama sekali nggak sama. Untuk itulah kita nggak bisa satu visi dan misi sejak awal. Orangtuamu benar, begitu juga orangtuaku. Pilihan mereka tepat karena nggak memberikan restu dari masing-masing kita."

"Kenapa kamu bicara seperti ini disaat kamu mengajak aku untuk makan malam?"

"Bukan aku yang ajak kamu untuk makan malam. Ini keinginan istriku."

Tepat saat itu ekspresi Letizia berubah mendung. "Dia yang minta kita makan malam bertiga? Kenapa? Apa penjelasan kamu nggak cukup meyakinkannya?"

Penjelasan apa? Sebasta berkaca semalaman dan tidak menemukan bahwa apa yang dijelaskan pada Elira adalah sebuah penjelasan. Malah seperti sebuah alibi untuk dimaafkan ketika ketahuan selingkuh. Setelah ucapan papanya juga, Sebasta merasa memang harus memfilter hatinya sendiri. Secara fisik dia menyudahi hubungan terlalu jauh dengan Letizia setelah resmi menikah, tapi afeksi yang diberikan Letizia selayaknya pada pasangan terhadap Sebasta. Dan jika dipikir lagi, Sebasta juga menikmatinya karena merasa memang mereka pernah melakukan yang lebih jauh sebelum pria itu resmi menikah. Sungguh Sebasta adalah pria tidak tahu untung yang sebelumnya tidak menyadari kehadiran Elira adalah lebih dari cukup untuknya. Kehidupan sederhana memang lebih cocok untuknya.

"Apa pun yang kamu katakan sekarang, aku nggak akan ambil pusing, Zi. Kamu bisa nggak datang, jadi aku bisa menikmati makan malamku dengan istriku. Tapi kalo kamu datang, tolong bersikap yang baik. Karena aku nggak ingin melihat istriku terluka karena apa pun yang kamu lakukan."

Sebasta tidak lagi peduli jika perasaannya sudah ketahuan sepenuhnya bahwa sudah dikuasai oleh Elira. Sebasta tidak bisa memberikan apa pun lagi. Jika dia harus mundur, maka akan dilakukannya. Meski memang mundur tidak bisa dilakukan dengan waktu yang mudah.

DUSTA DIBALIK HUJAN / TAMATTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang