9. Putri Kebaya

23 3 0
                                    

#SoL---spin off Dwika

Prompt: Dunia dalam harapan

***

Sering aku bertanya-tanya tentang eksistensi kehidupan. Perihal mengapa harus terlahir di muka bumi, berjuang untuk hidup dan kenapa manusia melakukan sesuatu berulang-ulang. Seperti ... pemuda-pemudi dikawinkan, kemudian memiliki anak. Mereka hidup dalam pohon keluarga nan kokoh. Namun, tatkala waktu panggilan kematian orang tuanya, sang anak menempa hidup sendirian, lalu membangun keluarga baru.

Sesingkat itulah. Harus ada kematian untuk melahirkan kehidupan lain. Seiring keberlangsungan pertumbuhan, anak-anak akan digembleng dengan penuh harapan. Saat mereka balita, nalurinya ingin bisa berjalan dan berbicara. Setelah itu, belajar menulis dan membaca. Sampai pada kenyataan pelik, yaitu diarahkan untuk bercita-cita, meski kelak tidak sesuai realita.

Menjelang jenjang akhir sekolah itulah sebuah perkataan sang guru mengusik benakku. Beliau baru saja mengakhiri pelajaran sosiologi, kemudian mebahas tentang masa depan dalam obrolan hangat. Hingga beliau menatap kami dengan penuh keseriusan seraya bertanya, "Lulus sekolah nanti kalian mau jadi apa?"

Aku hanya berpangku tangan sambil menatap papan tulis berisi cita-cita teman sekelas. Sementara telingaku bising mendengar lonjakan euforia mereka ketika dengan bangga membahas harapannya. Jujur, aku sendiri tidak tahu akan berlabuh ke mana saat dewasa nanti. Sebab tidak seperti siswa-siswi kebanyakan, aku bukanlah orang yang memiliki cita-cita.

Tatkala semua teman sekelas usai bersuara, aku memiliki giliran terakhir untuk menjawab. Kuputuskan untuk berdiri di tengah mata-mata yang mulai menatap penuh penasaran, sambil meremas erat seragam sekolah untuk meredam rasa gugup di tengah suara yang sulit untuk keluar. "Aku ... ingin bekerja dan hidup sederhana."

Embusan napas berat sayup-sayup terdengar, kentara sekali bahwa mereka tidak puas dengan jawabanku. Sebagian lainnya tergelak tawa. Sementara satu di antara mereka mulai berkelakar, "Gimana bisa kamu hidup bahagia dalam kesederhanaan?"

Aku hanya bungkam. Suatu saat nanti, aku ingin memberikan jawaban kepada lelaki itu ketika hari perpisahan tiba. Namun, bahkan setelah lulus pun belum ada jawaban yang kudapatkan. Pertanyaan sang guru benar-benar menjadi kenyataan tak berkesudahan, sebab aku taktahu harus ke mana.

Kehidupanku semakin merosot jatuh saat menjadi pengangguran. Keluar masuk pekerjaan, mencoba berbagai keahlian, hingga jatuh pada kenyataan bahwa aku sangat lelah menghadapi kehidupan. Tidak ada pemotivasi. Hal itu membuatku semakin jauh dari lingkungan dan orang-orang sekitar.

Bagaimana tidak? Keluarga yang menjadi acuan utama untuk bekerja sudah tiada. Aku pernah mencoba jatuh cinta, agar setidaknya dapat merasakan hal manis di antara kepahitan ini. Pria itu sering kutemui saat dalam perjalanan menuju tempat kerja. Aku yang biasanya menerobos lampu merah, kini berujung mentaati peraturan hanya untuk mencuri pandang.

Kami sering terlibat kemacetan bersama. Di tengah lautan manusia dengan wajah masam, sorot mata teduhnya menjadi penyejuk suasana. Namun, sebelum aku benar-benar bisa menyapa lelaki itu, ia sudah lebih dulu bersama gadis lain. Sementara aku? Hanya menjadi pengagum rahasia semata.

Pada titik itu, aku memutuskan untuk membunuh perasaan kepada angan yang takpasti. Namun, tanpa sebuah harapan, aku tidak bisa hidup seperti manusia pada umumnya. Pekerjaanku menjadi kacau, berkali-kali pula menerima surat pelanggaran dari atasan.

Saat itu butik kami mendapat klien rancangan baju pernikahan. Semua pekerja sudah memiliki tugas masing-masing, kemudian aku diberi tanggung jawab atas progres tersebut. Nasib buruk, aku justru salah menerapkan pola pada gaun mempelai wanita, sehingga gaun tersebut sangat sesak pada tubuh berisinya.

"Sebisa mungkin akan saya rombak," kataku penuh keyakinan sambil menunduk, kerena kesalahan fatal yang telah kulakukan. Meski demikian, aku ingin menciptakan gaun cantik kepada sang wanita di momen sakral untuk kehidupan barunya.

Bos mengangkat gaun putih itu ke hadapan wajahku. Bagian kupnat yang menampakkan pinggang ramping di gaunnya sudah sobek saat dipakai oleh sang wanita. "Gak ada harapan lagi." Kini, pandangan bos beralih pada potongan atas gaun. "Bagian dadanya juga kurang diekspos. Padahal di situ letak keanggunannya terpancar."

Demikianlah. Satu kecerobohanku malah beranak menjadi berbagai kesalahan. Padahal sejak awal, model inilah yang diharapkan oleh klien kami. Tidak terlalu terbuka, tetapi tetap memancarkan kharisma sebagai seorang wanita. Hanya saja, karena posisiku sejak awal sudah bersalah, aku takmau memperkeruh suasana. "Maaf, Bos. Kesalahan ini bakal saya jadikan pelajaran buat berbenah diri."

"Apa ada penyelesaian cuma dengan kata maaf? Butik kita rugi, Abel!" Dia melemparkan gaun ke arahku dengan kecewa. Lantas berkata sambil bersedekap. "Sejak awal kamu merancang baju ini memang buat dirimu sendiri, kelihatan dari ukurannya yang sesuai sama proporsi badanmu."

Aku mengernyit. Sebegitukah mereka berpikir diriku ingin menikah? Bahkan, di usia muda ini ada banyak hal yang sebetulnya masih harus diperjuangkan. Meski dunia semakin mengajak bercanda dalam permainan takdir.

Kalimat tersebut menjadi ucapan perpisahan untuk mengakhiri pekerjaanku sebagai penjahit. Lantas segera mengangkat kaki dari tempat yang katanya surga para gadis. Penuh dengain pakaian mewah mengekspos lekuk tubuh, serta sebagai ajang memamerkan penampilan.

Hari sudah menjelang malam, menyedihkan sekali ketika aku masih berjalan gontai melewati para tunawisma. Mereka duduk di pinggiran toserba sambil mengangkat tangan hendak meminta setiap ada pejalan kaki. Angin malam menerjang kulit rentanya, tetapi hati mereka lebih kokoh untuk mengais hidup. Bahkan, mereka masih dapat tersenyum kecil saat berhasil mendapat sepeser uang.

Aku ikut tersenyum melihat sebuah semangat membara dalam hati mereka. Takada pembeda besar antara kalangan bawah dan kalangan atas dari keyakinan untuk bertahan hidup. Meski dari segi penampilan, mereka tampak jauh lebih memperihatinkan dari yang terlihat.

Hal itu membuat aku mendapat jawaban dari pertanyaan teman sekelas dulu, bahwa patokan kebahagiaan tidak bisa diukur dari seberapa sederhana hidup seseorang. Nyatanya, banyak kebahagiaan yang justru hadir dari kesederhanaan tersebut.

Aku berjongkok, kemudian memasukkan uang pesangon ke dalam topi salah satu tunawisma. "Ini rezeki buat Bapak," ucapku dengan tulus. Hanya agar bisa kembali melihat seulas senyuman, tetapi pria paruh baya itu justru berlinang air mata. Bisa jadi, ini penghasilan pertama yang didapatkan setelah sekian lama berdiam diri.

Kurasa, aku memberikannya pada orang yang tepat. Sejak saat itu aku menjadi tercerahkan. Takperlu alasan besar untuk hidup di muka bumi, cukup dengan bisa membantu orang lain saja sudah menjadi bagian dari kehidupan. Setelah sekian lama dalam keterpurukan, aku pun mencoba kembali bangkit.

Aku memulai dengan melakukan hal terkecil, yaitu mempermak gaun yang sudah dibuang dari butik. Kemudian, menyulapnya menjadi kebaya putih nan elegan, berlapis furing brokat disertai bunga-bunga timbul. Kupikir, kita harus menonjolkan keberadaan kepada negeri dan aku memperkenalkannya dari sebuah kebaya.

Pagi harinya, aku terbangun dengan semangat, meski tanpa keluarga dan seorang kekasih. Aku hanya butuh kepercayaan diri dengan mengenakan kebaya, kemudian bercermin untuk melihat bahwa aku---Abel memang pantas mengenakannya sebagai seorang putri.

Teruntuk kalian yang sedang dalam masa sulit, aku juga ingin berpesan, "Mungkin saja harapan itu sejak awal sudah tercapai. Tapi karena kalian belum mencintai diri sendiri, hasil dari pengharapan itu tidak terlihat."

Putri Kebaya---Selesai

@shima_alqie
Kamis, 16 November 2023

BibliosmiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang