A7

7.4K 41 0
                                    

"Selcia?"

Bukan hanya suara berat Wilden memanggil namanya yang menimbulkan kekagetan, tapi juga kehadiran pria itu di dalam kamar.

Sejak tiba di kediaman Wilden, Selcia tidak keluar satu kali pun dari kamar.

Masih betah berada di dalam tanpa lakukan kegiatan yang berarti. Paling hanya bermain handphone dan pergi tidur siang dua jam.

Walau begitu, Selcia tidak sampai merasakan lapar yang besar karena asupan untuk perut selalu terpenuhi dengan baik.

Hampir setiap tiga jam sekali, akan ada satu pelayan datangi kamar guna membawakan sejumlah makanan dan minuman.

Yang terakhir adalah menu dinner.

Selcia menyantap semua hingga habis. Tidak ada bersisa sama sekali. Disamping karena lapar, rasa makanan memang enak.

Sayang, jika dibuang sia-sia.

Lagi pula, Selcia tipe yang anti membiarkan makanan menganggur. Tidak peduli jika harga dirinya menjadi taruhan.

Dalam artian, menikmati semua fasilitas di rumah Wilden, sama saja mengabaikan rasa malu memanfaatkan situasi dengan baik.

Selcia enggan menekankan pikiran untuk hal-hal yang berlebihan. Lagi pula, ia tidak bisa mundur atau berkelid dari keadaan.

Hingga detik ini, dirinya masih berada di rumah Wilden. Telah membuat kesepakatan juga dengan pria itu. Tak bisa dibatalkan.

Memang juga, harus melaksanakan wasiat mendiang sang kakek. Bagaimana pun tidak ingin dan keberatan ia untuk melakukan.

Takdir hidup yang tak mampu dihindari.

"Selcia?"

Mata dikerjap-kerjapkannya dengan gerakan cepat, ketika kedua telinga sangat bisa menangkap baik panggilan dari Wilden.

Selcia pun sadar akan kenyataan bahwa ia sudah bengong. Hanyut dalam pikirannya sendiri. Entah sudah berapa lama.

"Selcia?"

"Apa?" Dijawab dengan cepat, kali ini. Nada suara lebih ditinggikan, seperti membentak.

Sudah dipandang pula sosok Wilden Davis dalam delikan. Namun, pria itu tidak gentar dan terus berjalan mendekat.

Tak lama, Wilden pun sudah ikut bergabung duduk dengan Selcia di sofa, dengan jarak di antara mereka yang cukup dekat.

"Kenapa kau mendatangiku? Apakah ada hal kau mau bicarakan bersamaku?" Selcia pun langsung menyasar ke masalah inti.

"Kalau memang ada yang harus dibicarakan, ayo cepat kita lakukan sekarang." Selcia kian blak-blakan berbicara. Malas basa-basi.

"Lebih cepat selesai, maka akan bagus."

Wajar jika Selcia berspekulasi demikian. Ia dan Wilden memang masih punya beberapa urusan yang belum terselesaikan. Jadi, pasti akan mereka bahas untuk menuntaskan.

"Tidak ada."

Wilden menyeringai. "Bukan membahas sesuatu yang aku mau denganmu. Tapi hal lainnnya," imbuhnya dengan nada santai.

"Kau pasti tahu bukan?"

Tubuh Selcia merinding seketika. Ingatan pun terlempar kembali ke momen siang tadi yang tak sengaja dialami bersama Wilden.

Bahkan, ciuman singkat mereka seperti masih saja terasa di bibirnya. Entah kenapa, tidak bisa Selcia lupakan hingga kini.

Sudah diupayakan mencari alasan paling tepat dan masuk akal, yakni karena dirinya sudah lama tak dekat dengan pria.

Dalam artian hubungan yang intim, baik berciuman maupun bercinta hampir selama empat tahun. Itu pun jika tak salah hitung.

Untuk ukuran wanita dewasa yang normal secara seksual, maka kedekatan apa pun terlalu intim dengan lawan jenis pasti akan menimbulkan sensasi tertentu.

Bukan karena pengaruh dari sisa perasaan dahulu dimiliki pada Wilden. Tentu, Selcia sama sekali menentang pemikiran tersebut.

"Selcia ....,"

Namanya yang disebut dengan suara rendah namun lembut, memberikan pengaruh lagi pada Selcia. Tubuhnya kian merinding.

"Kau sedang apa? Melamunkan apa?"

Langsung diberikan balasan. Membuktikan pada Wilden bahwa dirinya sedang tidak melamun, seperti pria itu mengira.

Tatapan sudah dikembalikan pada sosok Wilden. Mata mereka bersitatap. Sorot jahil di sepasang manik hitam Wilden tak hilang.

"Tidak apa-apa." Selcia menjawab jujur dan mantap, guna tak timbulkan curiga.

"Bukan juga aku membayangkan kita sedang bercinta, oke? Kau jangan menuduhku."

Wilden terkikik kencang. Merasa geli, lucu, dan senang sekaligus akan jawaban yang diluncurkan oleh Selcia Secondly Quinn.

Tidak hanya dari cara wanita itu berbicara yang menghiburnya, namun juga ekspresi di wajah Selcia. Paduan antara gelisah dan juga keberanian. Tampak lucu untuk dilihat.

"Kau tidak percaya?"

Wilden lekas menganggukkan kepala dalam gerakan-gerakan yang santai. "Aku percaya."

"Kau tidak mungkin berbohong bukan? Kau tipe yang anti dengan ketidakjujuran."

Selcia merapatkan bibir. Sudah tak ada niat membalas ucapan Wilden. Akan menambah panjang saja percakapan yang sebenarnya tidak terbilang penting untuk dibahas.

"Aku ke sini mau memberitahumu, kalau di sekitar rumahku ini banyak hutan liar."

"Setiap malam, biasanya terdengar serigala mengaum dan lumayan berisik."

Wilden belum bisa memindahkan atensinya dari Selcia. Atau memang sedang tidak ingin dilakukan. Menyenangkan saja menjadikan wanita itu sebagai objek pandangnya.

"Kau takut pada serigala bukan? Kakekmu bercerita. Maka dari itu aku kemari."

"Intinya bagaimana? Kau berniat memberi tahu saja atau ada hal lain?" Selcia bertanya karena merasakan kecurigaan.

"Haha. Kau gampang menuduh, ya."

Sindiran Wilden segera Selcia balas dengan gelengan mantap. "Aku merasa kau tidak akan mungkin hanya mau memberi tahu."

Hendak berkata kembali. Belum semuanya Selcia keluarkan. Namun, dibatalkan ketika jurus andalan Wilden keluarkan.

Ya, pria itu berupaya dekat dengannya. Jarak di antara mereka tentu kian disempitkan.

Dan, ingatan Selcia lagi-lagi dapat terlempar ke siang hari tadi. Rasanya seperti ia tengah mengalami de javu saja sekarang.

"Bagaimana kalau aku menemanimu malam ini, Selcia? Aku yakin kau masih menyimpan ketakutan dengan serigala."

Wilden menyeringai bangga. "Kita berdua hanya akan berbagi tempat tidur."

"Tidak akan ada percintaan panas antara kau dan aku," jawabnya sungguh-sungguh.

Gairah Suami Duda [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang