A19

2.8K 13 0
                                    

"Aku mengambil vodka tadi di bar minimu. Aku pikir kau akan bergabung denganku."

"Dan, ternyata kau memang benar mau ikut minum bersamaku." Selcia bicara datar saja.

Kembali berbanding terbalik akan caranya memandang secara intens Wilden yang telah duduk di kursi. Mereka dipisahkan meja.

Jarak pun tidak terlalu jauh hingga mampu melihat dengan jelas sorot mata pria itu. Tak ada perbedaan dari cara Wilden menatap.

Masih sama saja seperti tadi, saat mereka di meja makan. Bahkan, Selcia merasa jauh lebih teduh pria itu memandangnya.

Dipercayai pula, pasti ada alasan menjadi latar belakang mengapa Wilden sampai terus saja menatapnya dengan sorot yang sama sekali tidak tampak biasa.

"Aku sedang tidak ingin minum. Ak--"

Lewat gelengan kepala, Selcia berhasil saja membuat Wilden berhenti bicara.

Namun, tak dikatakan apa-apa pada pria itu. Walau, Wilden menunggunya mengeluarkan kalimat. Mungkin sebuah penjelasan.

Selcia memutuskan akan mengobrol dengan pria itu. Tapi, nanti setelah mereka berdua menenggak beberapa gelas minuman.

"Kau mau vodka atau sampanye?" Selcia menawarkan dalam nada sopan.

"Aku tidak berminat minum."

Selcia menghela napas panjang. Lalu, kepala digelengkannya. "Tidak bisa."

"Kau harus minum. Setidaknya, kau harus mabuk dan aku juga begitu."

"Kita akan lebih mudah bercakap-cakap soal apa pun, saat minum. Tidak peduli apakah perkataan kita bisa menyakitkan. Aku ti--"

Giliran Wilden kali ini yang sukses membuat Selcia tak lanjutkan ucapan. Tentu, bukan dengan cara membungkam mulut wanita itu lewat ciuman. Tapi, berlutut di depan Selcia.

Tidak karena aksi Wilden membekap mulut wanita itu menggunakan tangan, yang telah menyebabkan Selcia berhenti bicara.

Namun, karena kemauan wanita itu sendiri.

Dan, Wilden memilih tak melontarkan kata apa pun. Walau, di dalam kepala, sudah ia siapkan rangkaian kalimat tanya.

Sayang, Selcia tidak kunjung menunjukkan reaksi apa-apa. Wilden pun kurang tahan akan suasana yang sepi nan juga canggung, disaat dirinya mau sampaikan beberapa hal.

"Aku? Tanpa minum bisa mengutarakan apa saja yang mau aku katakan." Wilden berujar mantap dan tidak ragu sama sekali.

"Buktikan sekarang."

Seringaian dibentuk. Senang akan balasan Selcia. Wanita itu memang selalu pandai dalam luncurkan kata-kata singkat dengan nada menantang sangat menggebu-gebu.

"Kau mau mendengar apa dariku?" Wilden bertanya dengan santai. Kontras akan sorot matanya yang intens menatap Selcia.

"Apa pun itu. Kau sudah tahu. Kau lumayan peka. Jangan mengulur-ngulur waktu."

Selcia sangat sadar bahwa ditunjukkannya delikan pada Wilden, tidak akan berdampak apa-apa untuk pria itu.

Justru Wilden akan kian menggoda dirinya. Sudah sangat jelas tampak pada sepasang mata pria itu dengan sorot jahil.

Namun, Selcia pun menekankan pada diri sendiri, bahwa ia tidak akan gentar atau takut meladeni rayuan-rayuan dari Wilden. Dengan senang hati membalas.

Dan, ucapannya tadi belum mendapatkan respons pria itu. Tapi, tak masalah baginya untuk menunggu sampai Wilden membalas.

"Aku sungguh bingung. Kau tahu apa yang menjadi penyebabnya, Calon istriku?"

Calon istriku.

Setiap kali panggilan tersebut terlontar dari mulut Wilden, maka tak bisa Selcia hindari merinding dirinya. Apalagi, cara pria itu berbicara begitu kental akan nada godaan.

Selcia sudah jelas tak sabar ingin memberi tanggapan pertanyaan pria itu. Kepala pun digelengkan berulang kali.

"Aku bukan peramal yang bisa tahu isi hati dan pikiranmu. Kau harusnya yang cerita agar aku tahu, Sayang." Selcia bicara mesra.

"Aku bukan tipe yang suka berbelit-belit dan menggunakan kode-kode rahasia. Lebih baik menceritakan semuanya," lanjut Selcia.

Tak hanya lewat perkataan, ditunjukkannya juga secara nyata dengan disentuh Wilden tepat di bagian bahu kanan pria itu.

Apa yang dilakukan, sudah pasti memberi pengaruh pada Wilden. Mata pria itu mulai membara oleh gairah.

Rencana Selcia selanjutnya adalah terus memancing hasrat Wilden. Tentu, memiliki tujuan agar semakin menggelora.

Kedua tangan pun sudah Selcia pindahkan ke leher Wilden. Melingkar di sana dengan erat, walau gerakannya terkesan santai.

"Jujur, aku masih tidak habis pikir kenapa kau mau kita menikah cepat. Maksudku ap--"

"Memang kenapa? Tidak ada salahnya kita segera menikah bukan? Lagi pula, pastinya akan terjadi." Selcia membela diri.

"Terasa aneh."

Selcia berdecak pelan. Lalu, berkata, "Kalau aku punya maksud terselubung bagaimana? Kau tidak mau kita menikah cepat?"

"Bukan begitu juga. Tapi, aku masih su--"

"Sudahlah, Wilden Davis. Kita jangan terlalu serius mempermasalahkan hal ini."

"Tapi, kalau kau ingin jawaban yang jujur dariku. Oke, aku akan mengaku." Selcia pun mantap berbicara. Ekspresi jadi lebih serius.

"Aku tidak mau kehilanganmu lagi. Sudah cukup dulu, aku melepaskanmu. Aku tidak bisa melakukannya sekarang."

"Aku mencintaimu, Wilden. Aku yakin jika kita menikah adalah kesempatan emas bagi diriku untuk memilikimu," ujar Selcia dalam nada yang sama sekali tidak ragu.

"Aku tidak akan bertanya soal perasaanmu padaku karena aku tahu, kalau kau juga menyukaiku." Selcia tertawa kali ini.

"Ah, maksudku, kau pasti mencintaiku. Aku sudah yakin dari caramu menyentuhku."

Wilden menyeringai lebar sembari kepala diangguk-anggukan. Tak lupa meloloskan gelakan juga sama seperti Selcia.

"Trims, sudah memahamiku, Sayang."

Wilden menempatkan juga kedua tangannya di wajah Selcia. Menangkup dengan cara yang maskulin dan posesif.

Gairah Suami Duda [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang