A23

1.9K 18 0
                                    

Wilden melangkahkan kedua kakinya dalam gerakan lebih lambat, saat jarak ke pintu kamar ditempati oleh Selcia tak lebih dari satu meter lagi untuk dicapai.

Sebelum benar-benar masuk, Wilden berdiri beberapa saat. Namun, tidak sampai satu menit memang. Ia hanya perlu waktu guna menenangkan detakan jantungnya.

Sejak bangun tidur, Wilden tak bisa bersikap sewajarnya seperti hari-hari kemarin.

Sepertinya bukan hal yang terlalu aneh bagi Wilden. Mengingat, dirinya akan mengikat janji dengan Selcia sekitar satu jam lagi.

Sangat mustahil untuk tak dihadapkan pada kegugupan yang berlebihan. Walau, sudah berupaya menenangkan diri.

"Hai, Sayang."

Alunan suara lembut dari Selcia menyapa, ditambah juga sorot kedua mata hangat dan senyuman manis, memberikan dampak yang lebih tidak karuan pada jantung Wilden.

"Apakah pendeta sudah datang?"

Harusnya dijawab segera pertanyaan Selcia, namun fokus malah terpecah. Bahkan, kini tengah terpusat ke penampilan wanita itu.

Riasan wajah Selcia begitu terlihat alami, tak berlebihan. Membuat calon istrinya tampak semakin menawan saja.

Didukung pula dengan gaun pengantin yang indah sedang Selcia pakai. Membalut tubuh ramping wanita itu begitu bagus. Terlihat tepat, tanpa kebesaran sama sekali.

"Sayang?"

Selesai panggilan bernada mesra dialunkan Selcia, posisi Wilden pun sudah berada di belakang wanita itu. Cukup dekat jarak yang memisahkan mereka berdua.

Selcia sendiri tengah berdiri dengan anggun di depan cermin. Dari sudut pandangannya, Wilden bisa melihat sorot bahagia wanita itu dalam pancaran mata yang tampak jelas.

Saat Selcia membalikkan badan dan mereka saling berhadap-hadapan, semakin tak bisa Wilden berhenti mengagumkan.

"Kau sungguh cantik, Sayang." Pujian pun dilontarkan dengan nada penuh damba.

Tanpa menunggu reaksi dari Selcia atas apa yang diucapkannya, Wilden segera menarik wanita itu ke dalam pelukannya.

Rasa nyaman pun dengan cepat pula naungi diri Wilden. Apalagi, saat Selcia sudah beri balasan. Wanita itu mendekap erat balik.

"Ada apa? Kau kenapa?"

Pertanyaan Selcia sangat jelas menunjukkan kecemasan yang besar pada dirinya. Tak bisa untuk Wilden abaikan. Ia harus merespons.

Tanggapan pertama yang diperlihatkannya adalah gelengan. Lalu, rengkuhan di tubuh ramping Selcia pun dilakukan.

Kenyamanan segera didapatkan. Begitu juga ketenangan, langsung bisa menggantikan  kecamuk rasa yang menaungi diri Wilden.

"Kau kenapa, Sayang? Ayo, ceritakan padaku dulu. Aku tidak suka kau menyembunyikan dariku. Oke? Apa pun itu masalahnya."

Wilden terkekeh. Hanya tertawa. Enggan ia keluarkan satu kata dari mulutnya. Lebih memilih mengeratkan dekapan.

Semakin besar rasa tenang yang diperoleh. Debaran jantung juga sudah tak sekencang tadi berdetak. Walau, belum bisa dikatakan kembali ke degupan yang normal.

"Aishh, kau malah tertawa."

Wilden harusnya tidak mengencangkan lagi gelakan. Malah dilakukan. Tak akan dapat diredamkan atau dihilangkan begitu saja.

Pelukan dilepas beberapa detik kemudian. Ia beralih memegang kedua lengan Selcia yang ditutupi oleh kain gaun pengantin.

Tatapan lekatnya langsung dipusatkan pada mata indah Selcia. Wanita itu tentu segera menyambut. Membalas dengan tidak kalah intens, walau delikan juga tampak jelas.

"Aku tidak kenapa-kenapa, Sayang. Aku tidak punya masalah yang perlu aku cemaskan."

Wilden memperlebar senyuman. "Aku ini cuma sedang grogi menghadapi pernikahan kita. Membuatku menjadi cemas."

"Wajar bukan aku begini? Pertama kali baru aku alami." Wilden menjelaskan lagi guna meyakinkan apa yang ia tengah rasakan.

Wilden mengira Selcia akan punya pendapat sendiri. Namun, wanita itu justru anggukan kepala dan hanya melebarkan senyum.

Tidak ada yang Selcia katakan. Padahal, ada harapan dalam diri Wilden akan didapatkan kalimat ampuh yang mampu berikan lebih banyak ketenangan dari Selcia.

"Tidak cuma kau yang grogi, Sayang. Aku juga begitu. Berarti kita satu frekuensi, 'kan? Kita ditakdirkan berjodoh dan harus tetap melaksanakan pemberkatan."

"Kita akan rugi grogi banyak jika kita tidak melakukan pernikahan. Biarkan saja nanti kita pingsan bersama-sama di altar."

Selcia tertawa lebih dulu. "Tapi, setelah kau dan aku mengucap janji pernikahan, baru kita boleh pingsan karena grogi. Oke?"

Ekspektasi Wilden melebihi kenyataan yang tengah diterima. Selcia tidak semata sedang menyemangatinya, tapi juga menghibur.

Baru beberapa detik lalu terpikir jika Selcia akan diam saja. Namun, ternyata tidak.

Wilden tak kuasa untuk memendam tawa. Ia keluarkan dengan kencang sembari dipeluk erat Selcia. Begitu pun wanita itu.

"Trims, Sayang," bisik Wilden di telinga kiri Selcia, disela tawanya yang belum berhenti.

Seluruh atensi sudah terpusat pada wajah sang calon istri. Apalagi, Selcia telah tempati kedua tangan di masing-masing pipinya. Tak bisa dialihkan perhatian ke hal lain.

"Kita pasti melakukan pemberkatan dengan lancar. Aku percaya kau dan aku memiliki kemampuan baik ucapkan janji pernikahan."

Wilden menganggukkan kepalanya dengan gerakan yang mantap. "Pasti, Sayang. Aku tidak akan gagal melakukannya."

"Dan satu lagi ...." Wilden pun penuh sengaja tidak menyelesaikan ucapan. Digantung.

"Apa itu, Sayang?"

Giliran Wilden yang menangkupkan wajah cantik Selcia. "Aku tidak akan pingsan nanti di altar. Aku akan alihkan rasa grogi dengan menciummu dengan penuh gelora."

"Hahaha. Lakukan apa pun yang kau ingin, Sayang. Apa kita perlu berlatih dulu?"

Sedetik kemudian, Wilden sudah anggukan kepala. Dilanjut dengan meraup bibir Selcia dengan raku. Dipagut dalam gerakan tidak sabaran dan sangat cepat. Menyenangkan.

Gairah Suami Duda [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang