A10

4.4K 33 1
                                    

Terakhir kali Selcia bertemu dengan Wilden, saat mereka sarapan bersama. Tidak ada lagi perjumpaan setelah momen tersebut.

Selcia pun menghitung, sudah hampir lima jam waktu dihabiskannya di dalam kamar.

Tentu, kegiatan yang bermanfaat dilakukan. Tak sekadar berbaring di kasur ataupun bermain internet saja, seperti kemarin.

Selcia justru tengah berpikir keras. Sayang, otaknya tidak bisa diajak bekerja dengan cukup baik. Malah, semakin melambat.

Sudah pasti, memengaruhi kinerja Selcia dalam menuliskan kriteria suami idaman pada daftar yang harus dikerjakannya.

Memang, sudah terpikirkan beberapa syarat sejak tadi. Namun, belum yakin untuk Selcia bubuhkan di atas kertas putih.

Masih tersimpan rapi di dalam kepala. Tapi, dapat diingat dengan lumayan jelas.

Kemudian, Selcia memilih untuk pergi dari kamar. Tak dapat dipertahankan lebih lama kejenuhan yang tengah melanda.

Minimal harus mendapat udara segar.

Namun sayang, rencana Selcia tidak dapat dilakukan karena Wilden datang.

Kembali, tidak bisa disadari kapan tepatnya pria itu masuk ke dalam ruangan.

Tentu, bukan jadi kesalahan Wilden. Ia yang mungkin terlalu melamun dan asyik dengan pikiran sendiri hingga tidak sadar akan keberadaan pria itu.

"Kau tidur siang?"

Selcia dengan begitu cepatnya menggeleng. Ia mudah saja lakukan karena menganggap pertanyaan Wilden tak mengandung makna khusus atau tersembunyi.

"Kenapa tidak?"

Selcia dapat secara cepat lagi menunjukkan respons lewat gelengan kepala mantap. "Iya, karena aku tidak mengantuk."

"Semalam, kau juga tidak tidur dengan baik. Kau bisa sakit, Selcia Quinn."

Dari cara Wilden berbicara, sangat kentara pria itu memberikan penekanan pada setiap kata untuk memperjelas maksud.

Entah apa tujuan Wilden. Menasihati atau menyindir dirinya. Yang jelas buruk.

"Aku tidak akan sakit untuk mengacaukan semua rencanamu, Mr. Wilden Davis," sahut Selcia dengan nada yang tegas.

"Lagi pula, bagaimana aku bisa tidur siang, kalau kau terus menuntutku agar aku segera bisa menyelesaikan list sialan itu."

Wilden langsung mengikuti arah pandang Selcia ke kertas putih yang ada di atas meja. Ia tak perlu susah-susah menerjemahkan apa yang wanita itu tengah maksudkan.

"Kau kira mudah bagiku?"

Wilden refleks menyunggingkan seringaian di wajah, reaksi spontan saja atas keluhan dengan nada sinis yang Selcia lontarkan. Tentu, wanita itu tidak suka akan reaksinya.

Lalu, Wilden menggeleng pelan. "Kalau kau hanya menganggap sebagai beban. Jangan dipaksa." Dijawab dengan santai saja.

"Tidak ada kewajiban untuk mengisi, kalau kau belum terpikirkan apa maumu."

Wilden memasang seringai, tepat setelah ia menyelesaikan ucapan. Ekspresi yang diukir di wajahnya, tentu menjadi perhatian dari Selcia juga. Wanita itu tampak waspada.

Timbul niatan mendadak dalam diri Wilden untuk menggoda. Pasti akan menyenangkan jika bisa membuat jengkel Selcia.

"Kau tahu tidak?" Wilden dengan sengaja meloloskan kalimat terkesan ambigu.

"Tahu soal apa?"

Selcia masuk dalam perangkap awalnya.

Wilden menambah lebih tinggi lagi kedua ujung bibirnya, seringai melebar. Kemudian, ia pun meloloskan dehaman. Masih dalam rangka timbulkan rasa penasaran Selcia.

"Jangan menunda-nunda, Wilden."

Kekehannya pun tidak bisa ditahan. Terlolos dengan cukup kencang. Dan, tawanya pun sukses membuat Selcia semakin jengkel.

Sungguh Wilden terhibur dengan ekspresi ditampakkan wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu. Padahal, kalimat jahil belum dikeluarkan satu pun olehnya.

Tawa berupaya Wilden reda segera. Butuh beberapa detik untuk ia lakukan.

Kemudian, Wilden pangkaskan jarak dengan Selcia. Menyenangkan saja rasanya dapat lebih dekat. Kenyamanan pun muncul.

"Aku tidak akan bermaksud terlalu percaya diri. Tapi, aku hanya ingin membantumu."

"Membantuku? Soal apa?" Selcia tanggapi cepat. Ingin menggali lebih lanjut.

Selcia memutar-mutar bola mata. Tak bisa paham akan perkataan Wilden. Entah, topik apa yang sedang pria itu sasar.

Selcia yakin bukan kemampuannya dalam berpikir berkurang. Namun, kesalahan ada pada Wilden yang tak mau langsung ke inti pembicaraan. Tidak bicara gamblang.

"Membantumu menemukan kriteria suami idaman. Apa lagi yang aku maksud."

"Ooohhhh!" Selcia berseru dengan lantang. Nada suaranya datar saja.

"Kau bisa menemukan semua itu di dalam diriku. Semua kelebihanku, dapat dijadikan acuan. Tapi, aku yakin kau tidak kecewa."

Secara mendadak, rasa mual pun menyergap Selcia. Tentu, diakibatkan oleh perkataan Wilden. Apalagi, pria itu berujar dalam gaya bicara yang sarat akan kebanggaan besar.

"Hooekkk!" Selcia pura-pura ingin muntah.

"Terima kasih atas tawaranmu, Mr. Wilden Davis. Aku sangat menghargai." Selcia pun membuat suaranya begitu senang.

Tentu, hanyalah akting belaka.

"Bolehkah aku mengutarakan pendapatku tentang dirimu, Mr. Wilden?" Selcia masih berpura-pura. Nada lebih formal, kali ini.

"Apa saja itu?"

Selcia tidak langsung menjawab. Namun, ia meloloskan tawa. Sengaja dikeluarkannya sebagai taktik guna menunda menyahut. Cukup seru membuat Wilden menunggu.

Selcia melipatkan kedua tangan lebih dulu di depan dadanya. Lantas, berkata, "Secara fisik, kau bisa dibilang sempurna."

"Tidak ada kecacatan." Selcia berkata santai.

"Kau juga kaya dengan hampir semua bisnis yang kau jalani mendapatkan kesuksesan."

"Perempuan mana pun pasti akan setuju jika kau adalah tipe suami idaman."

"Aku juga akan begitu karena aku memiliki penilaian normal sebagai wanita." Selcia bicara dengan setiap kata ditekankan.

"Namun, secara prinsip yang sudah aku pegang sejak dulu. Ada satu kekurangan di dalam dirimu yang menggangguku."

"Apa itu?" Wilden tidak kalah santai dan tenang memberikan tanggapan.

"Statusmu bukan lagi pria lajang, tapi duda. Aku selalu ingin punya suami yang tidak pernah menikah." Selcia berujar mantap.

"Hahahaha."

Selcia tak menyangka jika jawabannya yang dilontarkan dengan keseriusan, malahan mendapat balasan berupa tawa kencang.

Lantas, kekagetan melanda karena diterima rengkuhan dari Wilden. Entah bagaimana awalnya bisa terjadi. Ia tidak sadar.

Namun, Selcia tak tunjukkan perlawanan. Ia suka berada dalam dekapan hangat Wilden.

Degupan jantung Selcia meningkat, ketika pria itu semakin mendekatkan wajah.

"Kau tidak suka memiliki suami berstatus duda? Bagaimana jika aku beri penawaran?"

"Kalau aku hebat di ranjang dan membuat kau puas. Apa kau mau menghapus syarat tersebut dari kriteria suami idamanmu?"

Kini, Wilden yang dilanda kekagetan secara tiba-tiba karena lingkaran kedua tangan dari Selcia yang erat di lehernya. Tak disangka saja wanita itu akan melakukan.

"Tantangan diterima, Mr. Wilden. Kapan kau akan membuktikannya padaku?"

Andai, tak merasakan gesekan dengan kedua buah dada Selcia, maka tidak akan terjadi ketegangan di tubuh bagian bawah Wilden. Benar-benar tak mampu dikontrol.

Gairah Suami Duda [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang