"Dia itu pasti terangsang." Selcia bergumam dengan penuh kemantapan.
"Sudah jelas matanya bergairah, tadi saat aku lihat." Selcia kembali berupaya untuk meyakinkan dirinya sendiri.
"Walau, aku tidak sadar apakah kejantanan dia mengeras atau bagaimana." Selcia bicara dalam suara lebih rendah, kali ini.
Hal yang tengah bergelut di dalam pikiran Selcia, yakni mengenai seberapa besar ketahanan Wilden terhadap godaannya.
Memang tidak ada keraguan yang dirasakan atas kenormalan pria itu. Tak tampak sama sekali keanehan pada Wilden Davis.
Bahkan, sebaliknya.
Ya, Selcia merasakan dengan nyata sepasang mata pria itu berkilat oleh hasrat besar, kala mereka beradu pandang setelah berciuman.
Selcia sangat percaya dengan kemampuan analisisnya, walau hanya menggunakan rasa dan firasat yang selalu bisa dihandalkan.
Meski, untuk mendapatkan keyakinan yang benar dan tak menduga-duga, dibutuhkan bukti-bukti terpercaya juga.
"Haaahh!" Selcia menghela napas panjang dengan sedikit kefrustrasian.
"Coba saja tadi aku tidak menyerah cepat, aku pasti bisa memastikan jelas."
Selcia mendadak jadi jengkel pada dirinya sendiri akibat bagaimana tidak bisa dipakai otaknya secara baik. Terutama, dalam usaha memperoleh kebenaran sesungguhnya.
Dan, seharusnya pula, Selcia tidak perlu terbebani oleh apa pun yang ada kaitannya dengan Wilden. Namun, ternyata gagal.
Apalagi, sejak mereka berdua bercumbu, tak bisa dilepaskannya bayangan pria itu dari dalam benak. Selalu, berputar-putar.
Terutama, ciuman dilakukan oleh Wilden. Walau singkat, tapi tetap dapat membekas hingga detik ini dalam kepala Selcia.
Setiap membasahi bibirnya dengan air liur, seperti mampu dirasakan mulut Wilden di sana. Pengaruh pria itu cukup besar.
"Kau suka makan apa untuk dinner?"
Detakan jantung yang mengencang tiba-tiba, tidak hanya disebabkan rasa terkejut oleh pertanyaan dilontarkan Wilden Davis.
Melainkan juga diakibatkan dari cara pria itu menatap. Sorot mata lekat dalam manik hitam yang kelam dan juga begitu fokus.
Selcia baru seperkian detik beradu pandang rasanya dengan Wilden, namun langsung bisa hanyut akan cara pria itu menatap.
"Selcia?"
"Makanan yang aku suka?" Berikan respons dengan cepat, kali ini.
"Tidak ada spesifik. Aku makan apa saja asal bisa bersahabat di lidahku," imbuh Selcia.
"Oh, begitukah? Oke, aku akan membuatkan kau menu yang sederhana saja, ya?"
"Aku berani menjamin rasa masakanku akan enak di lidahmu, Selcia."
Tak bisa dialihkan atensi ke arah lain. Tetap terpaku pada sosok Wilden. Apalagi, pria itu memasang lebih lebar senyuman. Tidak bisa diabaikan ketampanan Wilden yang tambah kuat dalam memengaruhi kewarasannya.
"Kau juga akan yakin bukan?"
Selcia anggukan kepala pelan. Satu kali saja dilakukan. "Iya. Aku cukup yakin."
"Kau membuat apa memangnya?" Dilanjut Selcia percakapan dengan bertanya.
"Steak."
Wilden memerlihatkan hasil masakannya dengan jari telunjuk pada Selcia. Tidak lupa memamerkan ekspresi bangganya.
Masih dinanti akan bagaimana reaksi dari Selcia. Entah dalam bentuk kata-kata, sorot mata, ataupun mimik wajah wanita itu.
Dan, ketika melihat Selcia tersenyum, walau tak lebar, menimbulkan cepat gejolak yang aneh di dalam perut Wilden.
"Aku suka steak. Kau membuatnya dalam kematangan apa? Well done? Medium well? Atau yang jenis bagaimana?"
Wilden terkekeh. "Aku rasa dalam tingkat kematangan medium well. Kau suka?"
"Tentu saja! Favoritku!"
Wilden mengencangkan tawa. Kemudian, ia mengangguk-angguk pelan. "Baguslah, kalau kau suka jenis kematangan yang aku buat."
"Bolehkah aku mencoba satu? Kau buat lima steak. Jadi, tidak apa-apa, 'kan?"
Wilden mengangguk tak sampai satu detik, setelah Selcia selesaikan kalimat permintaan izin padanya. Tentu, akan memberikan.
Kemudian, diraih salah satu tangan Selcia. Membimbing wanita itu menuju ke meja makan. Tak ada penolakan dari Selcia.
Dengan mudah bisa mereka berdua capai meja. Wilden pun dengan gesit mendorong sebuah kursi agar bisa ditempati Selcia.
Lantas, satu steak diambilnya dari wadah. Ditaruh di piring yang akan digunakan oleh Selcia. Siap dihidangkan pada wanita itu.
"Silakan dimakan." Wilden memasang gaya bak pelayan restoran yang handal.
"Semoga kau suka dengan steak buatanku, Miss Selcia Secondly Quinn," imbuhnya.
Dan, tidak bisa lama Wilden alihkan atensi dari sosok Selcia. Ingin selalu melihat raut wajah wanita itu akan apa yang telah sejauh ini dilakukannya.
"Aku rasa aku pasti suka. Dari bau steak saja sudah menggugah selera makanku."
Wilden hanya memamerkan seringai untuk tanggapi ucapan Selcia. Ia pun sudah duduk nyaman di samping wanita itu.
Dapat diperhatikan dengan saksama, ketika Selcia menyuapkan sepotong steak ke dalam mulut. Lantas, mengunyah dalam ekspresi yang menampakkan jelas kebahagiaan.
"Benar-benar enak!"
Selcia bahkan mengacungkan kedua jempol tangan ke arah Wilden. "Kau berhasil!"
"Kau berhasil membuat steak yang sangat enak. Aku saja tidak pernah bisa hasilkan rasa steak seperti ini," komentar Selcia jujur.
Ingin berkata kembali, namun tidak dapat dikeluarkan kalimatnya sebab mulut yang tiba-tiba dibungkam dengan ciuman.
Pelakunya tentu saja Wilden.
Selcia sempat menegang untuk beberapa saat. Sudah jelas terkejut mendapat ciuman dari Wilden. Namun, dapat segera diatasinya kekagetan. Berupaya kembali rileks.
Selcia pun memutuskan membalas pagutan lembut dilakukan Wilden. Enggan diabaikan cumbuan pria itu. Lagi pula, ia senang.
Akan dibuat ciuman di antara mereka jadi lebih panas dan membara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gairah Suami Duda [21+]
General Fiction*follow dulu untuk membaca part khusus berisi adegan dewasa.* Selcia Secondly Quinn, tidak pernah membayangkan bisa terlibat dalam wasiat pernikahan mendiang sang kakek. Ia harus menggantikan posisi kakak sepupunya sebagai pengantin. Menikah dengan...