A18

1.6K 24 0
                                    

"Sepertinya aku kurang membelikan kau pizza, ya? Satu saja tidak cukup untukmu."

Andai tengah tak mengunyah, maka Selcia sudah pasti akan mengeluarkan balasan atas pertanyaan Wilden. Ia hanya bisa gelengkan kepala beberapa kali sebagai respons.

Walau, tiga puluh detik kemudian, potongan pizza sedang dimakan, sudah masuk semua ke dalam kerongkongan, Selcia tak loloskan satu patah kata dari mulutnya.

Kontras dengan mata yang selalu terarah ke sosok Wilden. Bahkan, sejak mereka duduk di kursi meja makan yang berseberangan, Selcia memfokuskan atensi pada pria itu.

Jelas saja, Wilden menyadari. Dan, diberikan balasan tatapan yang tidak kalah lekat.

Mereka terus memandang satu sama lain. Keduanya pun sama-sama bertekad menjaga kontak mata. Tidak ada yang berkeinginan untuk memutuskan lebih dulu.

Cara mereka berdua menatap pun pastinya berbeda. Sorot kedua manik berbeda jenis warna milik Wilden dan Selcia, pancarkan makna yang sama sekali kontras.

Mereka kompak kesusahan mengartikan secara benar maksud tersirat dari mata masing-masing. Menimbulkan makna hanya sesuai dengan sudut pandang pribadi.

Selcia menerka, tatapan Wilden sarat akan kehangatan dan keteduhan seorang pria yang tengah jatuh cinta pada wanita.

Awalnya risi merasakan intensitas kedua mata Wilden. Namun, lambat laun, Selcia berupaya untuk membiasakan diri.

Tak bisa dimungkiri, benda-benda pernah diberikannya dulu dan masih disimpan oleh Wilden hingga kini di kamar, menjadi salah satu motif Selcia tidak bisa tenang.

Fakta tersebut mengganggunya.

"Kau sedang memikirkan apa?"

Selcia masih ingin tidak berbicara, namun pertanyaan Wilden kali ini tak mungkin juga untuk diabaikannya.

Dan, respons pertama yang Selcia tunjukkan adalah gelengan. Digerakkan kepala secara pelan seraya tetap menatap Wilden.

"Bukan apa-apa." Selcia menjawab dalam nada yang datar. Ekspresi pun demikian.

"Kenapa kau begitu penasaran dengan apa yang aku pikirkan?" Selcia membalikkan pertanyaan. Ingin tahu pendapat Wilden.

"Aku kira kau tidak merasa nyaman dengan pertemuan kita dengan pengacaraku."

Selcia menaikkan salah satu alis. "Kenapa aku harus merasa tidak nyaman?"

"Karena pengacaraku yang akan mengurus perpisahanku dan kakak sepupumu adalah Thomas Green. Kau mengenalnya, 'kan?"

Sementara, Wilden bisa mengartikan kedua manik indah Selcia warna biru, menatapnya dalam pancaran tajam dan curiga. Namun, ia tidak merasa terancam sedikit pun.

Bahkan, dinikmati bagaimana kini sepasang mata Selcia lebih melebar karena merasa terkejut akan pemberitahuannya.

"Kau pasti ingat dia bukan?" Wilden kembali memancing demi melihat reaksi Selcia.

"Iya, sudah pasti aku ingat!"

"Dia itu sudah menyakiti Selmary. Aku tidak akan pernah bisa lupa sampai kapanpun."

"Kau tidak tahu 'kan bagaimana Selmary sangat dibuat patah hati oleh dia?"

Selcia menajamkan tatapan. "Aku tidak akan pernah lupa bagaimana kakak sepupuku sedih dan menderita karena dia."

"Selmary sepertinya juga trauma dengan pria sampai dia mengalami penyimpangan seksual." Selcia semakin menggebu-gebu.

"Awas saja si Thomas itu nanti."

Selcia mengembuskan napasnya yang terasa lebih memburu karena emosi mulai bangkit. Tentu, harus dinormalkan segera.

Namun, tidak akan semudah itu. Walaupun, Selcia sudah berupaya melakukan.

Bahkan, ingin dikeluarkannya lagi komentar pedas mengenai Thomas, menurut sudut pandang dan pendapat pribadinya.

Akan tetapi, Selcia berpikir ulang. Ia masih dapat menjalankan logika serta akal sehat. Tapi, tidak dengan kecamuk perasaan.

"Aku tahu dan bisa memahami kejengkelan serta amarahmu pada Thomas."

Selcia menggeleng pelan. "Aku rasa aku yang berlebihan tadi," jawabnya lirih.

"Aku sangat sayang dengan Selmary. Kami juga dekat sejak kecil. Jika dia mengalami kesusahan, aku akan merasakannya juga."

"Apalagi, saat Selmary mengalami patah hati yang mendalam karena Thomas. Aku tidak bisa untuk tidak kesal dengan orang itu."

Menceritakan secara jujur apa yang tengah dirasakan dan ada dalam pikirkan, pada Wilden Davis adalah pilihannya.

Risiko pria itu kurang percaya atau hanya menganggap angin lalu ceritanya, harus siap diterima. Tak mengharapkan adanya empati atau penerimaan dari Wilden.

"Aku tahu kau dekat dengan Selmary. Dia pun pernah memberitahuku."

"Dan, aku merasa penasaran dengan suatu hal. Kau mau tahu? Akan aku katakan."

Selcia tak ragu segera memberi tanggapan lewat anggukan mantap. Mata semakin lekat memandang sosok Wilden. Menunggu pria itu melontarkan pertanyaan.

"Bagaimana perasaanmu pertama kali, saat kau tahu aku yang menjadi cinta pertamamu akan menikah dengan Selmary demi wasiat yang kakekmu tinggalkan?"

"Perasaanku? Biasa saja. Karena, aku sudah cukup lama melupakan perasaan yang aku miliki padamu." Selcia jawab apa adanya.

"Saat itu, aku masih remaja," perjelasnya.

"Hahahaha. Aku kira kau akan kecewa dan juga sedih. Ternyata tidak, ya?"

"Kau kira aku masih anak perempuan lima belas tahun yang harus menangis? Tidak akan aku lakukan." Selcia bicara tegas.

"Aku senang kau tidak sedih karena aku pasti akan merasa semakin bersalah."

Kekesalan yang baru saja melingkupi diri Selcia, seketika hilang karena perkataan Wilden. Lebih tepat, cara pria itu berbicara.

Selcia pun teringat akan benda-benda yang diberikannya, masih disimpan rapi Wilden di kamar. Memicu rasa penasarannya lagi.

"Aku pikir kita tidak usah mengungkit masa lalu. Tidak akan mengubah apa-apa. Hanya memori yang disimpan sebagai kenangan."

"Lebih baik kita berdua fokus pada masa depan. Terutama, menjalankan wasiat dari Granpa." Selcia bicara dengan nada serius.

"Aku berencana memajukan pernikahan kita. Maksudku acara pemberkatan."

"Bagaimana jika besok? Aku yang siapkan semua. Kau hanya perlu setuju, Wilden."

Tak bisa matanya untuk tidak membeliak mendengar ucapan Selcia. Bahkan, sangat kaget akan apa yang wanita itu sampaikan. Wilden pun enggan memercayai ide Selcia.

"Bagaimana? Kau setuju saja, ya?"

"Kenapa kau ingin melakukannya besok? Aku kira terlalu terburu-buru." Wilden jelas harus mendapatkan alasan dari Selcia.

"Kenapa? Supaya kita resmi saja menikah."

"Dan, supaya kau tidak merasa bersalah dan menyesal karena sudah bercinta denganku sebelum kita berdua iklarkan janji di depan pendeta." Selcia bicara dengan mantap.

"Kau kira kemarin saat kita selesai bercinta, aku tidak dengar kau meminta maaf? Aku masih terjaga. Aku ingin tertawa."

Wilden diam seribu bahasa. Sudah merasa mati kutu dan tidak tahu harus memberikan tanggapan yang seperti apa.

Wajah Wilden memanas. Tidak pernah ia dilanda reaksi sebelumnya. Baru pertama kali dirasakan hari ini karena Selcia.

"Bagaimana? Kau setuju?"

Wilden mengangguk mantap. "Oke. Setuju. Lakukan apa yang menurutmu terbaik."

"Tidak masalah jika orangtua kita tidak bisa hadir bukan? Kita tidak mungkin ganggu waktu liburan mereka di kapar pesiar."

Gairah Suami Duda [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang