A4

8.1K 45 0
                                    

"Kita cuma perlu untuk dapat saling terima kekurangan masing-masing. Dengan begitu, kita bisa menjalankan pernikahan."

"Aku tidak akan protes atau menyalahkan semua kelemahan dalam dirimu, Selcia. Aku memiliki kekurangan juga."

Demi apa pun, ucapan-ucapan Wilden Davis, terus tergiang dalam benak Selcia. Meskipun sudah hampir dua jam berlalu.

Dengan empat gelas tequilla yang diminum, harusnya mudah saja untuk tidur. Namun, Selcia justru mengalami kebalikannya.

Mata memang dapat dipejamkan erat. Tidak demikian dengan pikiran masih terus saja bekerja, bak roda yang berputar-putar.

Terutama, dipenuhi oleh sosok Wilden Davis dan perkataan-perkataan pria itu.

Sebagian besar ucapan Wilden luncurkan, selama mereka mengobrol tadi, rasanya mampu Selcia ingat semua.

Jelas sangat mengganggu ketentraman hati dan pikiran, setiap kali terbayang di dalam benaknya. Walau, sudah coba dihiraukan.

Bahkan, menimbulkan beragam tanya.

Misalkan saja .....

Kekurangan seperti apa Wilden maksud?

Apakah kekurangan dalam dirinya membuat Wilden benar tidak merasa terganggu?

Apakah kelemahannya akan memengaruhi harga diri dan masa depan?

Andai memang benar begitu, solusi seperti apa yang sebaiknya untuk dilakukan?

Memikirkan sejumlah pertanyaan tersebut dengan beraneka jawaban dan kesimpulan juga, tidak baik bagi kesehatan mentalnya.

Selama ini, Selcia selalu merasa apa pun di dalam dirinya sebuah anugerah yang patut untuk disyukuri dan dihargai.

Bukan dipermasalahkan.

Namun, ucapan Wilden sudah memberikan pengaruh padanya. Dan, tidak dapat begitu saja Selcia menunjukkan pengabaian.

Walau, pikirannya sukses dibuat rumit oleh perkataan-perkataan Wilden. Tapi, masih tetap bisa dipasang telinga dengan baik.

Saat, bel kamar hotel berbunyi, Selcia pun langsung beranjak bangun dari kasur. Lalu, bergegas berjalan ke arah pintu.

Tanpa menduga siapa yang datang, jelas saja Selcia cukup kaget mendapati Wilden Davis yang mengunjungi kamar hotelnya lagi.

"Kenapa kau kemari?" Selcia melontarkan kalimat untuk mengonfirmasi alasan.

"Ponselku tertinggal tadi."

Selcia hanya mengangguk sebagai balasan. Ia lalu melangkah mundur guna memberi ruang bagi Wilden untuk masuk.

Namun, Selcia tiba-tiba merasakan pusing di kepala yang menyerang hebat. Ia pun tidak memprediksi dirinya akan limbung.

Selcia pun mengira jika ia akan terjatuh ke lantai. Tapi, ternyata tidak terjadi.

Sepasang tangan kuat memegangi lengan kiri dan juga kanannya. Ya, yang menjadi dewa penolongnya adalah Wilden Davis.

Beberapa detik kemudian, Selcia merasakan kepalanya bersandar di dada pria itu yang bidang. Sama sekali tidak direncanakan.

Aroma parfum maskulin Wilden menguar ke indera penciumannya. Selcia langsung bergidik karena hal tersebut berhasil dalam memberikan pengaruh padanya.

"Kau butuh duduk, Selcia?"

Otak memerintahkan dirinya untuk segera merespons pertanyaan Wilden. Namun, tak bisa digerakkan lidahnya.

Sementara, mata memandang tepat ke kedua manik hitam kelam milik Wilden. Seakan dirinya ditarik semakin dalam, membuat pandangan tidak bisa teralihkan.

Sepasang netra Wilden yang juga sedang menatapnya lekat, terlihat begitu indah.

Ingatan Selcia pun sukses tertarik kembali ke beberapa tahun silam. Saat dirinya masih remaja dan sangat menyukai Wilden.

Selcia mengira bahwa detakan jantungnya tak akan sekencang dulu. Namun, sekarang tetap terjadi. Sama sekali tidak diduga.

"Selcia?"

"Hmm?" Hanya gumaman dikeluarkannya.

"Apakah kau butuh duduk?"

Tanpa harus mendapatkan respons ataupun persetujuan dari Selcia, Wilden tetap pilih untuk mengangkat wanita itu.

Dibopong dengan mudah saja, tanpa adanya kendala yang memberatkan. Apalagi, bobot tubuh Selcia terbilang ringan.

Tentu, apa yang dilakukannya memperoleh reaksi dari wanita itu. Hanya beliakan mata yang lebar. Selcia tak berkata apa-apa.

Sempat Wilden kira akan ada perlawanan berlebihan dari wanita itu. Misalkan dengan meronta-ronta atau memaksa turun dari gendongannya. Tapi, tak Selcia lakukan.

Dan, hanya butuh waktu seperkian detik bagi Wilden berjalan menuju sofa. Secara hati-hati ditempatkan Selcia di sana.

Setelah wanita itu sudah dalam posisi duduk yang nyaman, Wilden memutuskan untuk berlutut di hadapan Selcia.

Diamati dengan saksama wajah wanita itu untuk tahu kondisi Selcia. Lalu, diputuskan meloloskan komentar, "Kau banyak minum."

"Kau tidak kuat minum sebenarnya, ya? Tapi kau tadi memaksakan dirimu."

"Bagaimana sekarang kau rasakan? Apakah kau semakin pusing, Selcia?"

Gelengan dilakukan dengan mantap untuk pertanyaan Wilden. Tentu saja, respons yang ditunjukkan adalah kebohongan.

Tidak mungkin mengungkapkan secara jujur pada Wilden. Enggan menerima bantuan dari pria itu kembali. Entah dalam bentuk apa nanti. Selcia tak bisa memprediksi.

"Aku sudah mendingan. Kau bisa pergi dari sini, setelah kau mengambil barangmu yang tertinggal." Selcia tetap berucap sopan.

"Baiklah. Aku akan pergi, kalau kau merasa kau bisa mengatasi sendiri mabukmu."

Ketika Wilden beranjak dari posisi berlutut, tiba-tiba saja Selcia meraih tangan pria itu.

Wilden tentu bertanya-tanya lewat tatapan yang ditunjukkan, saat mata mereka berdua saling berserobok. Ia tak paham.

"Ada yang mau aku bicarakan denganmu. Bisakah kau duduk sebentar?"

Wilden mengangguk pelan. Lalu, mengambil posisi di samping Selcia. Jarak mereka cukup terjaga. Masih bisa dilihat sorot mata wanita itu dengan jelas. Tapi, tak dapat diartikan.

"Aku akan bertanya soal ucapanmu tadi."

"Kau bilang kita akan bisa akur menjalankan pernikahan, selama kita berdua dapat untuk berkompromi dengan kekurangan dan juga kelebihan satu sama lain."

Selcia paham perkataannya justru berbelit, harus digunakan kalimat lebih jelas dan mudah dimengerti oleh Wilden. Tentu, agar menghindari kesan yang ambigu.

"Intinya, begini ...."

"Kau sudah melihat kelemahan dan juga kekurangan apa saja dalam diriku? Katakan dengan jujur. Aku tidak akan marah."

Wilden menggeleng pelan. "Aku belum tahu karena kita jarang bertemu bukan?"

"Kita perlu waktu lebih banyak untuk dapat mengenal baik satu sama lain."

"Bagaimana caranya?" Selcia tanggapi cepat karena merasa perlu segera menyelesaikan.

"Tinggal bersama."

Gairah Suami Duda [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang