1

1K 32 0
                                    

Octava duduk di bawah pohon kenari lokal di halaman depan gedung kuliahnya. Dari sana ia bisa melihat semua aktifitas mahasiswa fakultasnya. Octava memandang ke depan, pada sekumpulan mahasiswa yang duduk melingkar sambil mengunyah makan siang. Saat itulah ia merasakan perutnya keroncongan dan nyaris muntah.

Di belakang hiruk pikuk halaman kampus yang berlapis, Octava mengamati ruang kuliah umum sudah membuka pintunya. Satu persatu mahasiswa keluar dengan tas di bahu mereka. Sebagian menjinjing maket-maket tugas. Dan seorang dosen yang biasa dipanggil Miss Ursula keluar dari sana juga. Di tangannya terselip map biru muda yang berisi kertas daftar presensi.

Hanya itu. Octava baru sadar bahwa Miss Ursula tidak pernah membawa bahan ajar apa pun ke dalam kelas kecuali daftar hadir mahasiswanya. Tidak ponsel, tidak buku literatur.

Menurut pengalaman Octava sebagai mahasiswa, ada dua alasan seorang guru tidak membawa bahan ajar ke kelas. Pertama, mungkin sang dosen mengingat semuanya. Dari fisiknya, Miss Ursula belumlah terlalu tua dibanding dengan dosen lainnya di kampus ini. Bisa jadi ingatannya tentang materi kuliah masih begitu segar. Tersimpan rapi di kepalanya.

Dan rambut keriting Ursula yang tebal, mampu melindungi kepalanya dari sengatan sinar matahari dan air hujan. Tidak ada yang dapat menguap atau hanyut dari sana. Sang dosen tak perlu membawa buku ajar lagi. Karena Miss Ursula wanita yang cukup cerdas.

Yang kedua, kebalikannya. Bisa saja apa yang dikatakan Ursula di kelas tadi hanyalah bualan. Karena mahasiswa terlalu percaya pada kata-katanya. Octava sendiri tidak ingin punya masalah dengan Miss Ursula.

Dulu, Octava sangat antusias mengikuti mata kuliahnya Miss Ursula. Miss Ursula cantik, berwajah tegas dan percaya diri. Miss Ursula bergerak seperti seorang model, tapi bukan model murahan. Miss Ursula berwibawa. Dan, Octava ingin punya kharisma seperti dosennya itu.

Namun ya... Rasa kagum dan antusias juga tidak cukup untuk membuat Octava lulus mata kuliah itu. Ia sudah gagal dua kali. Apabila ia gagal lagi sekarang. Ia harus mengucapkan selamat tinggal pada rencana skripsinya semester depan.

Memikirkan bagaimana tanggapan ibunya kalau Octava akan gagal sarjana semester depan sudah membuat Octava ketar-ketir. Apalagi kalau alasannya hanya karena satu mata kuliah. Octava mendengus dengan sebal. Ia teringat lagi pada cara Ursula mempermalukannya di depan kelas barusan.

Mahasiswi itu masih memandangi Ursula. Ia menilai pakaian yang dikenakan dosennya. Juga warna merah anggur dari sepatu bertumit tinggi mahal itu. Kaki jenjang Miss Ursula bergerak-gerak dengan lentur. Kini jaraknya cukup dekat. Sampai-sampai Octava bisa memperhatikan otot-otot kaki yang berdenyut di betis wanita itu.

Octava bukannya membenci mata kuliah apresiasi. Ia hanya tak habis pikir. Bagaimana Ursula tak juga membebaskannya dari mata kuliah ini? Sudah dua kali Octava gagal. Dan ini kesempatannya yang terakhir. Karena semester depan Octava sudah harus berhenti menoleh ke semester yang lalu. Tugas akhir sudah menunggu.

Sial sekali, tanpa lulus mata kuliah wajib yang diempu Ursula, Octava tak bisa cepat-cepat angkat kaki dari kampus Universitas Purasabha. Octava mendengus sekali lagi. Kembali pada pikirannya yang entah di mana.

Dengan jarak yang ada di antara dosen dan mahasiswi itu, Ursula tiba-tiba berhenti langkahnya. Seperti sadar sedang diawasi, mata Ursula menyapu halaman depan gedung. Sampai mata itu bertemu dengan milik Octava.

"Octava Telaga." Ursula telah sampai di depan mahasiswinya. Ia tundukkan kepalanya sedikit agar wajahnya dapat dikenali.

Sekilas si mahasiswi dapat mencium aroma vanila yang familiar dari jejak angin Ursula. "Ya, Miss." Octava menjawab datar. Bersikap sopan, ia tak akan punya cukup daya untuk memerangi seorang dosen diktatis macam Ursula.

2. Microscopic Lust GXG (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang