O10

503 48 2
                                    

"Maafkan aku."

Bagaimana Niki mendeskripsikan hal ini. Rasa rindu, marah dan sedih bercampur jadi satu. Niki hanya memeluk Jay tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Jay merasakan perbedaan suhu tubuh gadis itu, dia melepaskan pelukannya. Punggung tangannya menempel pada kening gadis di hadapannya. "Kau sakit?"

"Hanya demam." Niki berjalan meninggalkan Jay, dan kembali merebahkan dirinya di sofa untuk melanjutkan kegiatannya- tidur.

Sedangkan Jay hanya menggeleng pelan melihat kelakuannya. "Tidak baik tidur disini, ayo ke kamar."

Niki menatap cepat Jay, dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Aku tidak mau melakukannya sekarang."

Jay mendengus geli. Dia berjongkok, mensejajarkan dengan wajah Niki. "Tentu saja tidak, bodoh."

Gadis itu merengut, menarik selimut sampai wajahnya. "Aku sangat membencimu, Jay."

Jay terkekeh gemas. Dia mengusap pelan kepala Niki, tanpa memperdulikan gadis itu lelaki ini justru berjalan ke dapur. Entah apa yang akan dilakukannya.

Berbeda dengan Niki yang 'kepo' dengan kegiatan Jay saat itu, dia membuka selimut dan mencuri pandang ke arah dapur.

"Kau tidak punya bahan masakan apapun?" tanya Jay meninggikan suara.

Niki meremas selimutnya. "Tidak!" balas Niki sama kerasnya. "Lagi pula untuk apa aku mempunyainya. Orang sepertiku mustahil sekali memasak," gerutuan Niki.

Saat melihat Jay kembali memakai jas, Niki sontak bangkit dari tidurnya. "Kau mau kemana?"

"Pergi."

Niki menelan ludahnya, dia mengalihkan pandangannya ke bawah dan kembali pada posisi awal di sofa. Sepertinya Jay akan meninggalkannya lagi.

Namun, tak terduga oleh Niki, Jay kembali lagi dengan sebuah kantong plastik besar di tangannya. Dia berjalan ke dapur tanpa menghiraukan Niki. Gadis itu duduk di sofa dan tetap fokus pada kegiatan Jay.

Ternyata Jay hanya membeli bahan masakan. Dan sekarang sibuk dengan dunianya sendiri dibandingkan dengan Niki yang tertidur di sofa karena lelah melihatnya terus berkutat dengan barang dapur.

"Niki?"

Jay hanya berdecak melihat gadis itu tertidur di sofa dengan posisi tidak terlihat nyaman. Dia menghampiri Niki, dan menepuk pundaknya pelan. Dia berbisik, "Bangunlah, kau harus makan dulu."

Niki melenguh, dia mengerjapkan matanya dan menatap wajah Jay. "Makan?"

"Makan..., Nic," ucap Jay dengan intonasi rendah.

Karena suara Jay tersebut membuat Niki sedikit tersipu dan mengikuti lelaki itu di belakang dengan salah tingkah.

Niki duduk dengan malas. "Aku tidak lapar."

"Aku tidak bertanya kau lapar atau tidak."

Jay membawa makanannya dan duduk di sebelah gadis itu. "Makanlah."

Yang dilakukan Niki justru menatap Jay dan makanannya bergantian. Dia ingin menolak namun tidak tega dengan usaha Jay yang memasak.

Karena lama menunggu Niki yang sibuk dengan pikirannya, Jay membawa sendok di makanan dan menyuapi Niki telaten. Berbeda dengan Niki yang terkejut atas perlakuan seperti itu, dia menghentikan tangan Jay.

"Aku tidak perlu disuapi."

Jay meliriknya. "Kalau begitu makanlah."

Niki memegang erat sendoknya. Hatinya berdesir, dia tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh seseorang. Sikap hangat Jay lah yang membuat gadis itu ingin serakah untuk memilikinya.

"Bagaimana aku bisa melepaskanmu jika begini," gumam Niki pelan dengan mata berkaca-kaca, dia mengigit bibir agar menahan tangisnya.

Jika jujur, Jay mendengarnya. Namun dia memilih mengalihkan pandangannya dan pura-pura tidak mendengar. Padahal dia mengepalkan tangannya kuat-kuat di bawah meja.

"Terimakasih atas makanannya, Jay. Ini makanan paling enak yang pernah aku makan."

"Berlebihan."

Niki tertawa kecil. Dia kembali ke tempatnya di sofa, menyelimuti tubuhnya. Melihat hal itu Jay hanya menghela gusar, susah sekali meminta Niki untuk tidak tidur disana.

Jay mendekati Niki, ia menatap lurus pada matanya. "Pergi ke kamar sendiri atau aku gendong?"

"Hm?" deham Niki bingung.

Alhasil Jay menggendong Niki ke kamarnya. Membuat gadis dengan rambut panjang itu berseru kaget.

"Jay!"

Tapi, setelah menurunkan Niki di kasurnya. Gadis tersebut malah enggan melepaskan tangan di leher Jay. Akibatnya Jay mendekatkan tubuhnya dengan Niki.

"Setelah aku pikir-pikir selama ini, sampai kapanpun kau tidak pernah menjadi milikku, Jay."

Jay menatap Niki dari dekat, dia memberikan tatapan yang sulit diartikan. Niki sendiri hanya tersenyum getir melihat hal itu.

"Tidurlah."

•••

Siang ini Jake datang menjenguk Niki. Dia khawatir saat Steven mengabarinya bahwa Niki jatuh pingsan saat itu, tapi tidak bisa menemuinya karena sibuk.

"Padahal kau tidak usah menjengukku sampai meninggalkan perkejaanmu seperti ini, Jake." Niki meminum jus buah yang Jake bawakan.

Jake berdecak kecil, "Kau tidak berhak melarangku."

Niki menaikkan alisnya. "Aku berhak."

"Baiklah, Nona muda," ujar Jake melebih-lebihkan. Terkekeh setelahnya melihat ekspresi Niki yang dongkol. "Aku kan emang bekerja di bawah keluarga-"

"Diam!" potong Niki seraya melemparkan buah apel ke arah Jake.

Jake terpingkal. "Lagipula kenapa kau selalu tidak mau jika aku membahas keluargamu."

Balasan Niki hanya dengusan dan gerutuan kesalnya, "Karena mereka selalu membuatku pusing."

Niki selalu tidak mau jika seseorang membahas keluarganya, karena gadis itu punya masalah sendiri dengan keluarganya itu. Dan Jake yang selalu menjadi jembatan jika Niki dan keluarganya ingin bertanya satu sama lain.

Contohnya hari ini, Jake diperbolehkan cuti kerja karena keluarga Niki mendengar jika keadaan anak gadis mereka tengah jatuh sakit. Jake langsung dapat cuti detik itu juga.

"Baiklah, sekarang aku tanya kau sudah makan belum?" tanya Jake.

"Sudah."

"Jangan bilang kau beli makanan di luar?"

"Tentu saja tidak. Aku makan masakan rumah."

Jake melirik Niki, seperti meremehkan. "Kau mustahil masak, kan?"

"Ck, jelas bukan," decak Niki. "Jay yang masak."

Ah, mendengar nama itu saja Jake seperti alergi. Raut wajahnya seketika berubah. "Cih, baru datang dia? Akhir-akhir ini kemana? Dia bahkan tidak tau kondisimu benar-benar kacau."

Niki menghela napas. "Jake, ayolah...."

"Aku tidak mau jika kau menangis karena dia, Nic. Jika itu terjadi, aku tidak akan pernah memaafkan orang brengsek itu."

Tangan Niki bertaut, dia menekan erat kukunya di punggung tangan. "Jake, menurutmu bisakah aku bahagia tanpa dia?"

Jake lantas menatapnya, lalu memegang kedua tangan Niki yang memerah, sepertinya Jake melihat harapan baik untuk gadis itu. "Kau bisa. Tak peduli jika itu bukan dia, kau bisa bahagia, Nic. Aku akan selalu di sisimu."

"Bahagia tidak selalu kau bersamanya. Justru jika kau bersama dia, kau akan sengsara, Nic."

"Tapi, Jake...," Mata Niki mulai bergenang air mata. Dia menggeleng enggan jika melakukan hal itu. Rasanya sesak. "Aku tidak bisa."

"Kau bisa, Nichole," lirih Jake. "Kau akan merasakan rasa sakit itu tidak lama lagi. Dan aku tidak mau kau jatuh terlalu dalam pada kebohongannya."

•••

A Mistaken Relationship [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang