OO6

638 50 0
                                    

Baru saja bangun dari tidurnya, Niki merenggangkan kedua tangannya dan tak sengaja melihat Jay tengah membaca koran dengan segelas kopi hangat.

"Kenapa kau tidak membangunkanku?" rengek Niki, dia ikut duduk di dekat Jay. Matanya melirik sinis pada lelaki itu.

"Kau terlalu nyenyak untuk ku bangunkan," balas Jay mengusap kepala Niki, sedangkan korban hanya tersenyum malu-malu karena hal tersebut.

Niki mengangkat bahunya, dan lanjut berkata, "Bukankah karena kau sendiri?"

"Itu benar."

Ide iseng tiba-tiba terlintas di benak Niki, dia tersenyum miring. Tanpa perijinan dari sang empu, Niki duduk di kedua paha Jay dan menghadap lelaki itu. "Ayo kita buat part 2."

Jay membulatkan matanya. Apalagi saat Niki tersenyum lebar karena tertawa akan ekspresi dirinya, Jay justru merasa salah tingkah.

"Maaf," kata Niki di sela-sela tertawa dan dia ingin bangkit lagi tapi Jay justru menahan posisi itu.

"Bukankah kau seharusnya tanggung jawab?"

Niki mengerjap sesaat, pandangannya beralih ke arah lain. "Aku hanya bercanda," gumam Niki. Gadis itu kembali melirik wajah Jay, dan melihat bagaimana ekspresi ambigu milik Jay.

Jay tersenyum hangat dan menekan pinggang Niki agar semakin dekat. Lantas memiringkan kepalanya di ceruk leher Niki. Mencoba menghirup aroma yang selalu membuatnya mabuk.

"Aku suka sekali dengan aromamu "

Niki hanya menghirup udara berat karena terlalu gugup.

Namun, atensi keduanya teralihkan kepada suara bel apartemen menyala. Niki dan Jay saling bertukar pandang, seakan saling bertanya.

"Aku lihat dulu siapa," pamit Niki bangkit dari tempatnya, dia membenarkan pakaian dan mengikat rambut.

Alisnya bertaut, saat melihat siapa orang yang berada di balik pintu tersebut. Jake, datang dengan menenteng paper bag di tangannya. "Haii!" sapanya semangat.

Niki yang sadar jika di apartmentnya ada seorang lelaki mendadak gelisah. "Ke-kenapa kau kesini?" tanya Niki pelan, menghalangi jalan Jake untuk masuk ke dalam.

"Menemuimu seperti biasa."Jake tersenyum pongah. Dia berusaha menerobos Niki untuk masuk, walaupun merasa aneh karena gadis itu terlihat berusaha menghalang-halangi jalannya.

"Kau ini kenapa...?" tanya Jake aneh, tapi dia berhasil masuk karena usaha Niki hanya sia-sia.

Niki mendengus kesal. Berarti, tujuannya kali ini adalah alasan apa yang pas untuk menjawab pertanyaan Jake nanti.

Benar saja. Kedua lelaki ini saling menatap tajam satu sama lain dan Niki yang merasa bertanggungjawab menjawab, hanya menghela gusar.

"Kalian berdua duduklah, apa perlu aku buatkan kopi juga, Jake?" tanya Niki mengalihkan perhatian Jake, karena lelaki itu sudah mulai marah.

Berbeda dengan Jay yang kembali ke tempat duduknya. Dia diam-diam melirik mereka berdua yang tengah berseteru pelan.

"Siapa?"

"Kau seperti tidak tahu siapa aku saja," jawab Niki menyibukkan diri membuat kopi.

"Tidak. Kau tidak pernah membawa orang lain selain aku kesini, lalu—"

Niki membalikkan badannya ke Jake. "Lalu apa kau berhak melarangku?" potongnya dan memberikan gelas kopi itu secara terpaksa padanya.

"Aku berhak."

Niki memicingkan matanya. "Kau siapa?"

Ditanya seperti itu Jake gelagapan menanggapinya. Dia melirik ke arah Jay saat itu, tak menyangka jika Niki membawa kekasihnya ke apartemen.

Padahal selama ini, gadis itu tidak pernah membawa satupun orang lain kesini kecuali dirinya. Bahkan Steven pun yang notabenenya teman yang cukup lama dengan Niki masih tidak berani ke apartemen ini.

Niki kembali duduk di ruang tengah, menemani Jay. Dan Jake dengan amat terpaksa ikut duduk bersama mereka.

"Aku kesini hanya mengantarkan beberapa titipan untukmu," ucap Jake ke arah Niki.

"Terimakasih," balasnya singkat.

Karena cukup kesal menerima jawaban seperti itu, Jake kembali membuka suaranya, "Bisakah kita berbicara empat mata?"

Niki mengulum bibirnya, dia melirik Jay meminta pendapat, tapi lelaki itu justru hanya diam dan fokus kembali membaca koran. Sepertinya Jay lebih sulit dihadapi daripada Jake. Baiklah, mari selesaikan satu-persatu, ucap Niki dalam hati.

"Ikut aku."

Niki dan Jake berjalan ke arah balkon. Pikiran mereka berdua sibuk dengan pertanyaan dan jawaban apa yang harus diberikan.

"Apa dia berbeda dengan yang sebelumnya?"

"Tidak tau," jawab Niki asal.

Jake memijat pelipisnya. "Kalian berhubungan berapa lama?"

"Baru-baru ini."

"Kau memiliki perasaan padanya?"

Niki menegakkan tubuhnya, dia terdiam beberapa saat. "Jika tidak mana mungkin aku membawanya."

"Sebesar itu?" tanya Jake kembali mengintrogasi.

"Kau kenapa bertanya seperti ini?" Niki menatapnya curiga. "Biasanya kau hanya bersikap peduli tidak peduli terhadapku, bukan?"

"Siapa yang bilang? Aku selalu memperhatikanmu, apalagi tentang hubunganmu."

Di tempatnya Niki tersentak, tak percaya pada Jake berkata seperti itu.

"Karena apa kau tertarik padanya?"

Niki menatap Jake jengkel, dia benar-benar kesal terus-menerus ditanyai seperti itu. Tanpa memikirkan hal apapun Niki justru mengucapkan hal yang tak disadarinya.

"Karena uang, memangnya apalagi?" decak Niki dia memalingkan wajahnya.

Tapi, sepertinya Jay mendengar hal itu. Lelaki itu berada tak jauh dari mereka, mendengar pembicaraan diam-diam, dan Niki mengetahuinya. Gadis itu memejamkan matanya, sepertinya dia salah berbicara.

Niki beralih lagi pada Jake. "Urusanmu sudah selesai, kan? Lebih baik kau pergi saja."

Jake menatap tak percaya pada Niki, dia berdecak kecil. "Oke, baiklah. Maaf mengganggu kencanmu." Jake pergi begitu saja dengan perasaan marah di hatinya.

Sedangkan Niki, mengusak rambutnya ke belakang, ia juga merasa bersalah pada Jake. Tapi, untuk saat ini Niki lebih mementingkan Jay yang telah mendengar perkataan konyolnya tadi.

"Jay...?" lirih Niki melihat lelaki itu tengah memakai jas, siap-siap untuk pergi.

Jay meliriknya sesaat dan kembali merapihkan pakaian daripada menjawab Niki. Gadis itu kalang kabut untuk menjelaskan maksud dari perkataannya.

"Bisakah kau mendengarkanku?" tanya Niki pelan.

Jay mengangguk.

Niki melihat sedikit harapan. "Bukan begitu maksudku, Jay, aku hanya asal bicara saja."

"Asal bicara?"

"Bu-bukan seperti yang kau pikirkan, maksud-ku begini..."

Jay melirik jam tangannya, dia menghela pelan. "Aku pergi dulu, ada banyak pekerjaan di kantor. Kita bisa berbicara di lain waktu."

"Maaf, Nic," lanjut Jay di akhir katanya.

"Jay, kumohon..."

•••

A Mistaken Relationship [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang