Kentang Goreng

3.6K 111 20
                                    

Don't mind the inaccurate religious representation.

***

Udara panas dari luar mulai menggangguku. Sudah waktunya makan siang. Aku baru saja keluar dari kelas mata pelajaran keempatku. Butuh sedikit adaptasi untuk dapat membaur di situasi yang baru ini. Aku bukan anak baru tetapi ini kali pertamanya aku sekolah tatap muka setelah sekian lama kita dipisahkan oleh layar gawai.

Aku telusuri langkahku, mencari muka-muka yang mudah kukenali. Sepertinya mereka semua sudah pergi. Hanya ada satu tempat yang bisa aku tuju yaitu kantin. Aku jalan sendiri karena belum mengenal orang lain.

Aku turun menggunakan lift agar segera sampai di kantin. Jika aku telat sampai, bisa-bisa aku tidak dapat makanan. Pelarian itu tidak ada gunanya karena sesampainya di sana, nihil pencarianku. Aku tak melihat satupun dari mereka.

Perutku berkeroncong. Aku butuh makanan. Aku tidak sarapan pagi ini. Sebenarnya aku tidak mau membuang uangku di kantin yang terlalu mahal ini tetapi perutku memang sudah tidak bisa diajak berkompromi. Ya sudahlah, aku akan biarkan perutku menang kali ini.

Aku pun berdesakkan, mencoba untuk membeli satu-satunya makanan yang tidak terlalu mahal. Aku menunggu di stall kentang goreng. Aku tahu pasti kentangnya akan dingin dan tidak renyah namun aku tak peduli.

Ketika berjalan ke arah mezanin aku sibuk dengan telepon genggamku. Aku melihat ke bawah dan sama sekali tidak melihat ke depan. Secara tak sengaja aku pun menabrak seseorang dan kentangku jatuh. Aku bergegas berjongkok untuk mengambil kentang-kentangku yang tersisa. Tidak bisa dimakan tetapi aku tidak mau menyusahkan janitor.

"Maaf," ucap perempuan yang barusan menabrakku. Aku tak menggubrisnya. Aku masih sibuk mencoba mengumpulkan kentangku yang sudah berserakan. Aku pun tidak bisa melihat mukanya.

Tiba-tiba ia menepuk pundakku. Entah mengapa aku tahu bahwa tangannya lembut. Bahkan melalui berlapis-lapis baju, aku tahu bahwa tangannya pasti halus.

"Aku bilang aku minta maaf," ucap perempuan itu mempertegas. Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat wajahnya—masya Allah, indahnya ciptaanmu. Lidahku langsung terasa kelu dan semua kata-kataku tercegat di tenggorokanku.

"Hei, kau tidak apa-apa?" tanyanya lagi. Aku ingin sekali menjawab tetapi rasanya seperti aku adalah orang bisu. Untuk sekedar mengatakan 'tidak' saja diriku tak sanggup. "Aku akan belikan kamu kentang yang baru. Ayo sini ikut denganku."

Perempuan itupun langsung menarik tanganku. Tanpa aba-aba, tanpa peringatan. Seperti perasaanku sekarang, tanpa aba-aba, tanpa peringatan. Entahlah, aku juga tidak yakin. Apakah benar ini cinta pada pandangan pertama? Menyebutnya saja sudah membuat perutku terkocok. Hal konyol apa itu? Tidak mungkin aku jatuh hati kepada orang lain hanya karena paras mereka yang menarik. Itu adalah alasan paling superfisial untuk peduli terhadap orang lain.

Sibuk dengan lamunanku, aku hanya mengintil saja dari belakang. Perempuan itu memimpinku. Ia berlaku secara dominan. Aku menyukainya.

Tak selang berapa lama, aku sudah di mezanin. Kentang goreng di depanku dan perempuan yang baru aku kenal di seberangku. Ia telah memperkenalkan dirinya. Namanya Cynthia. Cynthia Ong. Nama yang terdengar indah di telingaku.

"Kamu suka basket?" tanyaku. Sedari tadi kita sudah melakukan basa-basi. Ia sempat membicarakan beberapa pebasket dalam bincang kecil kami yang baru saja terjadi.

"Ya, mengapa? Aneh ya?" Aku tak tahu mengapa ia bisa merasa seperti itu. Aku baru mengenalnya untuk waktu yang terlalu singkat untuk mengatakan bahwa ia sempurna secara definitif namun untuk sekarang ia sungguh sangat sempurna.

Gre/Greecyn One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang