Sahur

701 65 20
                                    

This story came in clutch, so, sorry if it's kinda cringe LMAOOO.

***

"Sayang, bangun, udah setengah empat," bisik perempuan yang di sampingku. Aku seketika terbangun dari mimpiku dan mengucek-ngucek mata. Sudah hari keberapa ini? 

Cynthia pergi dari kamar tidur ketika aku sudah terduduk di pinggir kasur. Baik sekali perempuan itu. Tiap pagi, ia tidak pernah absen membuatkanku sahur, padahal, ia sendiri tidak melaksanakan puasa. Aku sangat beruntung memilikinya dalam hidupku. 

Sambil meregangkan semua otot, aku berjalan ke arah meja makan kami. Sudah ada ayam goreng, sayur kangkung, dan sambal yang terhidang. Di hadapanku, ada Cynthia yang tersenyum sebelum mengajakku untuk makan. 

"Sebenernya, tadi aku udah takut kamu nggak bangun. Semalem kamu sampenya malem banget. Aku khawatir tau nunggu di rumah," ucapnya sambil memanyunkan bibirnya. Ia lucu sekali jika sedang seperti ini. Aku tidak tahan untuk tidak menjahilinya. Itu yang akhirnya aku lakukan, aku mengacak-acak rambutnya. "Ih, Greesel, jadi berantakan rambutnya."

"Kamu lucu," balasku spontan. Aku rasa aku tidak mengatakan hal itu secara cukup. Cynthia bukan tipe orang yang mudah dirayu menggunakan kata-kata, tetapi, terkadang, itu satu-satunya hal yang bisa aku lakukan untuk meyakininya bahwa aku memang memiliki perasaan yang teramat dalam baginya. 

"Gombal mulu," ungkapnya dengan wajah yang pura-pura marah, "dimakan dong makanannya. Nanti keburu Subuh."

Aku menuruti permintaannya itu. Entah mengapa, ia terlihat lebih cerah dan bahagia hari ini. Senyumannya itu memabukkan, suaranya apalagi. Kalau bisa, aku ingin berada di sini selamanya. Aku ingin selalu merasakannya di dekatku. 

Sembari melahap makananku, aku mendengarkan Cynthia bercerita tentang hari-harinya. Ia yang berprofesi sebagai guru harus berhadapan dengan beragam karakter murid serta orang tuanya. Aku selalu merasa tertarik ketika mendengarkan tentang ulah anak-anak di kelasnya. Walaupun mereka sudah duduk di bangku SMP, kenakalan mereka masih mengocok perut. Ada saja perilaku mereka. 

Berbeda dengan Cynthia yang memiliki pekerjaan tetap, aku bekerja sesuai dengan proyek yang masuk. Meskipun pekerjaan ini lebih berisiko dibanding pekerjaan tetap, upahnya jauh lebih besar. Ditambah lagi, aku tidak perlu bekerja on-site. Aku juga memiliki jam kerja yang lebih fleksibel sehingga bisa menghabiskan lebih banyak waktu merawat rumah, diri, dan tentunya Cynthia. 

Pekerjaan Cynthia sebagai guru memudahkan hubungan kami. Jatah liburnya jauh lebih banyak dibanding pekerjaan lain. Walaupun muridnya libur lebih lama, Cynthia tetap ikut libur tiap pergantian triwulan. Hal itu memudahkan kami untuk pergi dalam perjalanan-perjalanan menjelajahi kota-kota.

Aku ingat, beberapa bulan yang lalu, sekitar bulan Maret, kami berdua pergi ke Lombok. Pengalaman menginap di sana tidak akan pernah aku lupakan. Pantainya sangat asri dan udaranya juga sejuk. Dibandingkan Bali, Lombok tidak memiliki jumlah pengunjung asing yang banyak. Kami jauh lebih nyaman di sana. Lagipula, aku dan Cynthia bukan tipe orang yang suka berpesta, kami lebih suka menikmati keindahan alam. Ide-ideku selalu mengalir deras setiap kali kami berjalan-jalan berdua. 

"Maaf, ya, semalem nggak sempet nanyain kamu. Nggak telat, kan, buat nanya 'how was your day?' sekarang?" tanya Cynthia tiba-tiba. Ia tidak suka keheningan di meja makan. Menurutnya, makan malam adalah waktu yang tepat untuk bercengkrama. 

"Nggak usah terlalu dipikirin, Cyn. Aku juga nggak apa-apa kok kalau kamu nggak nanya kemarin. Kita berdua udah capek banget. It was alright yesterday."

"Thank God then. Gimana? Makanannya enak?"

"Tiba-tiba ke makanan gini, ya?"

"Mau aku lanjut ngomongin soal hari kamu?" godanya.

Gre/Greecyn One ShotsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang