9. Ironi

356 44 17
                                    

"Anak-anak, ayo turun," ucap Mia ketika sampai di sebuah halaman sekolah yang begitu luas.

Tazia segera membuka mobil dengan riang seperti biasa tapi tidak dengan Jules. Sepertinya ada yang ingin disampaikannya kepada wanita yang mengantarnya pergi sekolah kali ini. Hari ini adalah hari pertamanya pergi ke sekolah selama di sini, pamannya rupanya tidak bercanda mengijinkannya berada di sini.

"Mia," panggil Jules pelan.

Wanita yang berada di belakang setir itu segera menoleh ke belakang. "Jangan memanggilku langsung dengan nama Jules, kita berada di Indonesia," ucapnya dengan tenang.

"Oh maksudku Bibi, aku minta maaf. Dan ... aku mau bicara sesuatu," balas Jules seketika yang kerap lupa.

"Bicaralah," jawab Mia dan melihat ke arah smartphone. "Jangan lama-lama ya, nanti aku bisa terlambat."

"Begini, terus terang rasanya aneh. Aku dan Tazia sudah sebesar ini tapi masih saja harus diantar jemput begini. Asal kamu tahu aku juga bisa menyetir. Jadi bagaimana kalau besok aku bawa mobil sendiri saja?" tawar Jules seakan mencari celah.

Mia segera menggeleng dengan cepat. "Terimakasih kalau kamu ingin meringankan pekerjaanku Jules. Tapi, aku hanya punya satu mobil. Kalau kamu yang bawa, lalu aku pakai apa?" tanyanya.

"Paman Vard punya banyak," kilah Jules dengan ringan.

"Tapi kamu tinggal bersamaku sekarang Jules. Bukan bersama pamanmu," balas Mia dengan cepat.

"Aku bisa minta satu, di sana paman memberiku beberapa mobil. Sepertinya itu bukan masalah," ucap Jules masih mencoba bertahan dengan segala alasannya.

Jules tidak sedang ingin tampil bermegah, bukan itu tujuan utamanya berada di negara ini. Kalau cuma kehidupan mewah dirinya sudah lebih dari cukup merasakan semua ketika berada di sana. Dia tidak perlu penilaian orang lain sekarang, yang diinginkan hanyalah papanya sekarang. Mobil yang dia maksud itu tentu saja untuk kemudahannya kalau ingin kabur mengunjungi pria bernama Hagen Alston itu.

"Ada apa lagi anak muda? Kalau sudah semua, bagaimana kalau kamu segera turun dan aku bisa cepat pergi bekerja. Sudah waktunya operan." Mia kembali melihat ke arah smartphone itu.

"Sudah cukup," balas Jules yang merasa semua rayuan juga negosiasi tidak berjalan dengan baik.

"Pinggangmu masih terluka, jangan banyak tingkah dulu dan jangan sampai basah agar tidak infeksi." Mia berceramah ketika Jules menuruni mobil itu.

"Baik, aku mendengarmu," jawab Jules dengan senyum.

"Kalau mau beli apapun, kartu yang kamu bawa itu bisa kamu pakai. Kalau habis bilang saja nanti aku isi lagi. Belajar yang baik Jules. Aku jemput nanti." Mia melambaikan tangan yang segera dibalas oleh adik dan calon keponakannya itu.

Benda beroda 4 yang dikendarai oleh Mia itu melaju pelan hingga keluar dari area sekolah. Tazia segera meraih tangan Jules agar mengikutinya. Hari pertama di sekolah kalau tidak dipandu bisa saja pemuda ini tersesat entah di mana meski bisa bertanya. Sekolah ini begitu besar, bukan hanya karena siswanya yang banyak tapi juga fasilitas yang banyak makan tempat.

Tazia memang bersekolah di tempat yang mana banyak anak-anak berkebangsaan asing. Dirinya tidak paham kenapa kakaknya menyekolahkannya di sini padahal jelas sekali biayanya tidaklah murah. Beberapa dari kawannya adalah anak dari pejabat, diplomat, pengusaha maupun profesional.

"Taz, pacar?" tanya seorang pemuda yang kebetulan berpas-pasan dengan mereka.

Tazia segera melepaskan tangannya. "Bukan, kami ... saudara," jawabnya setelah berpikir beberapa detik mencari alasan.

Topeng Sang Pewaris.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang