"Mia, apa kamu ingat mobil apa yang dia pakai? Atau setidaknya nomor seri?" Vard memegang smartphone, suara itu masih terdengar panik.
"Vard, aku sedang menyetir, hubungi nanti. Perjalanan pulang dan kamu tahu ini sedang hujan." Mia mematikan panggilan itu.
Bukannya tidak peduli tapi membagi fokusnya itu sungguh tidak bagus, jalanan licin dan air itu bagaikan tumpah dari langit. Mia tahu itu penting, tapi keselamatannya juga tidak kalah penting. Menelpon ketika berkendara itu bukanlah kebiasaannya, dan dia tidak akan mau memulainya, paling hanya beberapa kata saja dan dia akan mematikannya.
Jarak tempat kerja dan rumah hanyalah 15 menit dan biasanya molor jadi 20 menit ketika harus menjemput Tazia, adiknya. Gadis itu telah pulang terlebih dulu bersama temannya, itu bagus jadi Mia bisa segera meluncur pulang dan beristirahat. Vard tadi terdengar masih panik, apakah keponakannya itu belum ketemu juga?
"Oh shhh," gumam Mia hampir memaki karena baru juga parkir tapi sebuah mobil datang dan parkir dengan kasar di sebelahnya.
Dia menoleh dan benda beroda 4 itu begitu dikenalinya, mobil Vard. Pria itu tampak dingin dan kesal, raut wajah itu terlihat sedikit menakutkan, setidaknya bagi Mia. Vard adalah seorang pria yang hangat dan manis, sisi lain seperti ini baru sekali ini dilihatnya dan itu sedikit mengerikan.
"Halo, Vard." Mia melambaikan tangannya sekali dan Vard mengangguk memaksakan senyum.
"Maaf, aku hanya tidak sabar." Vard segera masuk ke dalam rumah kekasihnya itu.
"Aku mengerti, maaf tadi aku sedang menyetir. Kamu pasti tahu, kan?" Mia mengulang kembali alasan.
"Ya, aku mengerti. Hanya saja aku tidak sabar. Daripada kepalaku meledak memikirkan itu, lebih baik aku kemari." Vard bahkan masih tetap berdiri, wajahnya terlihat panik dan penuh beban.
Mia menyodorkan minum untuk pria itu. "Duduklah, kamu juga membuat aku jadi pusing," ucapnya.
"Terimakasih," balas Vard mengambil minum yang diulurkan oleh kekasihnya.
"Merasa lebih baik?" tanya Mia dengan prihatin.
Vard menggeleng. "Tidak," gumamnya pelan dan tangan itu mengusap wajahnya. Dia memutar tubuhnya menghadap ke arah Mia. "Sayang, apa kamu ingat dia pakai mobil apa?"
"Hanya ingat kalau itu adalah sebuah mobil sport saja, aku tidak banyak tahu, yang pasti warnanya seperti hijau ... sejenisnya. Aku tidak fokus ke mobil Vard. Karena Dia pingsan begitu aku datang setelah Tazia membuka pintu." Mia mengingat semua sekedarnya saja.
"Ya Tuhan, apa dia baik-baik saja?" Vard terlihat cemas.
"Aku tidak bisa bilang dia baik saja, dia terluka dan perlu dijahit. Dia pergi setelah aku menolongnya dan seperti yang aku bilang sebelumnya, dia tidak punya uang karena dirampok orang jadi meninggalkan jam tangan itu." Mia kembali mengulang cerita.
"Aku tidak bisa menemukan namanya di rumah sakit manapun, hotel mana pun." Vard mengeluh, pikirannya kacau. Jules ada di mana.
Anak itu masih belasan tahun dan selalu berada di dalam perlindungannya. Vard membawanya pergi ketika usianya masih di bawah 10 tahun. Waktu itu tanpa sengaja dia melihat sendiri kelakuan kakaknya yang menumpahkan segala sakit hatinya kepada bocah kecil itu.
Selama itu Vard tidak tahu kalau rumah itu adalah neraka yang diciptakan oleh sosok yang seharusnya menjadi pelindungnya, dia masih kuliah dan kembali ke Indonesia untuk liburan. Pengasuh Jules menemuinya sambil menangis.
Dirinya tentu tidak percaya begitu saja hingga akhirnya dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, anak kecil yang masih memakai seragam sekolah itu dilemparkannya menghantam kaki meja hanya karena tangan kecilnya itu menyentuh jas yang dikenakan oleh Hagen, kakaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Topeng Sang Pewaris.
Roman pour AdolescentsJules tidak pernah minta dilahirkan, tapi dia berada di dunia ini. Kehadirannya dulu pernah diinginkan oleh keluarganya, namun setelah tragedi itu bahkan papanya sendiri itu membencinya. Yang diinginkan olehnya begitu sederhana, hanya cinta dari or...