Jules terengah-engah terduduk dengan keringat yang menetes, napasnya itu diaturnya dengan perlahan. Ini masih tengah malam dan dia terbangun dengan mimpi yang begitu mengerikan. Bukan, ini bukan mimpi tentang hantu kuyang yang sejak kemarin dibicarakan dengan Tazia tapi yang lain.
Tadi itu, Jules berada di sebuah pekarangan yang luas dan dia ingat sekali itu adalah kebun belakang rumahnya. Tampak sesosok pria yang seperti papanya tapi wajahnya itu tampak banyak berubah, dia seperti sosok yang tidak hidup. Padahal ingat sekali waktu dirinya masih balita dan papanya menghempaskannya ke lantai, cahaya kehidupan itu masih ada meski sedikit. Tidak seperti tadi.
Pria itu, yang bernama Hagen Alston yang selalu tampak tegas itu bahkan sama sekali tidak tersenyum ketika melihatnya dari kejauhan. Tidak ada salam juga sapa kepada putra semata wayangnya. Wajah itu demikian memucat seperti mayat yang baru dibangkitkan kembali, rambut yang seingatnya dulu lebat berwarna hitam itu sepertinya sudah tidak setebal dulu.
"Aargh," gumam Jules pelan mengusap keringatnya yang tampak berlebihan dengan ac yang disetel sedingin itu.
Matanya nanar menatap ke depan, mimpi macam apa itu tadi. Papanya tampak hanya menoleh sekali saja ke arahnya dengan tatapan yang kosong kemudian berbalik dan terus berjalan hingga ke dekat rerimbunan bunga yang mana ada sebuah peti kayu yang berukir indah. Ayolah Jules tahu papanya bukan vampir, tapi kenapa malah dia masuk sendiri ke dalam peti mati itu dengan tenang.
"Jules," panggil Mia yang segera membuka pintu dan menyalakan lampu.
"Ya," jawab Jules dengan parau.
"Apa yang terjadi? Aku mendengar teriakanmu tadi," tanya Mia dengan cemas memegang wajah yang berkeringat itu.
"Tidak apa-apa, Mia." Jules tidak ingin bicarakan apapun, apalagi tentang mimpinya yang begitu buruk.
"Baiklah kalau tidak ingin bercerita, tidak mengapa." Mia mengambil tisu dan mengelap keringat itu. "Kalau sudah siap, kamu boleh cerita."
"Ya," gumam Jules tapi wajah itu tetap tidak tampak baik-baik saja.
Mia merasa ada yang aneh tapi memaksa seorang remaja itu jelas tidak baik. Jadi untuk sementara sebaiknya biarkan saja dia hingga nanti dia merasa siap sendiri untuk berbagi dan bercerita. Apalagi dengan Jules yang kehidupannya begitu kompleks, sedikit banyak Vard bercerita tentang keponakannya dan kerumitan keluarganya.
Wanita itu merentangkan tangannya. "Kamu, mau dipeluk?" tanyanya dengan lembut.
Di luar dugaan Jules menyambut tangan itu, tubuh remaja yang tidak seberapa besar itu berada di dalam pelukannya. Tidak banyak yang bisa Mia lakukan untuk pemuda ini, dunia terlalu keras kepadanya. Entah kenapa garis hidupnya menjadi seperti itu. Dia yang awalnya bergelimang cinta malah kehilangan sosok pelindungnya dan papa yang seharusnya menyayanginya malah membencinya.
"Kamu, tidak perlu bercerita. Tidak mengapa. Aku tetap ada di samping kamu, juga pamanmu." Mia memeluk erat pemuda yang terasa bergetar itu.
Masih juga tanpa dialog, hanya sesenggukan yang sesekali terdengar di sana. Mia masih memeluknya dengan erat tanpa tahu apa yang berada di dalam pikiran Jules. Luka apa yang tengah dia rasakan hingga dia menjadi seperti ini, Jules bukan orang yang mudah menangis dan sekarang di sini terasa pakaiannya mulai basah.
Ada Hagen yang sedang menanti maut, ada Jules yang belakangan seperti agak berubah menjadi lebih pendiam. Yang seperti ini, tidak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Tapi, dirinya adalah orang lain bagi keluarga Alston, apa haknya mencampuri urusan mereka. Meski dalam hati selalu tidak tega ketika menatap keponakan semata wayang dari Vard itu.
Ini harus segera dibicarakan dengan Vard. Harus.
***
"Di mana itu saudara kembarmu?" tanya Teddy ketika melihat Jules hanya sendirian dengan ransel berada di pundak.
"Entahlah, katanya ada urusan dengan the girls," jawab Jules dengan polos seperti biasanya.
"Sepertinya bibimu itu terlambat menjemput, bukan sekali dua kali, bukan?" tanya Riu melongok ke arah jam tangan.
"Dia sibuk," jawab Jules kembali berkata apa adanya.
"Sudah aku bilang, bawa mobil sendiri saja. Tampangmu itu tidak terlihat kalau tidak mampu membeli sebuah mobil, jual jam tanganmu itu," tunjuk Riu ke arah pergelangan tangan di mana sebuah mcLaren series melekat di sana.
Jules hanya tersenyum, pamannya bukan tidak mampu memang, tapi hanya ingin memperlambat gerak dan langkahnya saja. Sebelumnya ada mobil dari Calvin yang bisa dipakainya sesukanya sebagai ganti mobil dan sepatu limited edition yang diberikan kepada temannya itu di USA. Si paman mengembalikan mobil itu dan meminta maaf, itu berlebihan.
"Kalau tidak keberatan, kamu pulang bersamaku saja. Mungkin hanya memutar sedikit, tidak masalah. Tapi jok yang tersisa hanya ada 1," tawar Newa yang sedari tadi hanya diam.
"Ide bagus," balas Jules yang segera tersenyum senang.
"Dan biar aku yang antarkan Tazia, mungkin nanti mampir di sebuah kedai es krim dulu dan bicara," sahut Riu mengambil kesempatan.
"Terserah kamu, asal dia mau," jawab Jules menoleh ke arah Newa dan mengangguk.
"Baiklah kalau begitu, ayo." Newa segera bangkit dan Jules menghubungi Tazia sekedar berpamitan kalau dia pulang terlebih dahulu bersama Newa, kalau Mia mencari bilang saja begitu.
Tawaran ink jelas sekali bagaikan kesempatan emas baginya, bukan sekedar menjadi dekat dengan teman tapi ada yang lain. Jules memasuki mobil yang begitu ceper dan hanya memiliki 2 jok saja. Mobil seperti ini, pamannya punya beberapa meski tidak berada di negara ini. Dan sekarang keponakannya mau kemana-mana malah harus menebeng.
Hela napas dalam itu terdengar, rencana itu bukan dipikirkannya sejak berada di dalam mobil ini saja tapi sejak Newa menawarkan tumpangan kepadanya. Kesempatan ini jarang sekali dia dapatkan dan kalau terlewat entah kapan lagi bisa pergi. Mimpi yang waktu itu begitu mengganggu hingga pikirannya sama sekali tidak bisa terlepas dari itu. Mungkin berlebihan, tapi begitulah adanya.
"Newa, aku minta maaf. Tidak perlu mengantarku hingga rumah," ucap Jules agak ragu.
"Apa maksudnya? Kamu mau ke tempat lain?" tanya Newa mengernyitkan keningnya, tangannya masih berada di setir bundar yang berlapiskan suede hijau.
"Ya benar," jawab Jules dengan yakin kali ini.
"Oh baiklah, apakah jauh?" hanya Newa yang sepertinya tidak keberatan.
"Hanya memutar sedikit, perempatan depan itu belok ke kiri." Jules menunjuk ke depan di mana sebuah tiang lampu menunjukkan nyala berwarna hijau.
"Baiklah," jawab Newa tidak keberatan, dia membelokkan mobilnya sesuai dengan instruksi yang diberikan oleh temannya itu.
"Sebentar lagi, tinggal tunggu sebuah pagar hitam yang tinggi dan kita berhenti di sana. Tidak perlu ditunggu, pergi saja nanti tinggalkan akan di sana." Jules berkata dengan berapi-api.
"Tidak masalah, tapi ... jadi penasaran, rumah siapa?" tanya Newa ketika sampai di depan pintu gerbang hitam besar seperti yang dimaksud oleh Jules.
"Kediaman Hagen Alston, kamu tidak bisa membacanya?" tanya Jules menunjuk ke arah plakat bertuliskan keluarga Alston.
"Baiklah aku paham, itu ... kediaman orang tuamu. Selamat bersenang-senang." Newa dengan polosnya malah memberi selamat.
"Ya, terimakasih," jawab Jules dengan riang.
"Hei, Jules. Kamu kan setahuku tidak tinggal di sini. Tumben kamu kemari? Mau apa?" tanya Newa dengan iseng setelah Jules menapakkan kakinya pada lantai dengan irisan batu itu.
Jules membalikkan tubuhnya dan berkata, "Menjemput kado ulang tahunku lebih awal."
Kalau pamannya tidak bisa memberi kado yang diminta di ulang tahunnya, tidak mengapa. Jules bisa mengambilnya sendiri.
***
__________________
CC. alfreyISP
__________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Topeng Sang Pewaris.
Ficção AdolescenteJules tidak pernah minta dilahirkan, tapi dia berada di dunia ini. Kehadirannya dulu pernah diinginkan oleh keluarganya, namun setelah tragedi itu bahkan papanya sendiri itu membencinya. Yang diinginkan olehnya begitu sederhana, hanya cinta dari or...