6. Bebal.

490 63 20
                                    

Mia menatap dengan tidak percaya atas sosok yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri itu, wajah itu masih diingatnya dengan lekat. Dia yang datang di tengah malam dengan luka sayat berada di pinggangnya sedangkan dia dengan polosnya mengaku tidak punya uang karena dirampok.

Dia sama persis dengan yang apa yang pernah digambarkan oleh Vard, pemuda yang begitu polos dan masih begitu muda. Ada segurat kemiripan pemuda ini dengan pamannya. Kenapa saat itu dirinya sama sekali tidak menyadarinya. Keponakan yang begitu disayangi oleh pria itu hingga kadang Mia seperti menganggap vard adalah ayahnya.

"Oh kamu," ucap Mia melangkahkan kakinya, dia paham kalau harus mengulur waktu hingga Vard tiba di sini.

"Halo Doc, terima kasih waktu itu telah menolongku, itu sangat berarti." Jules tidak melupakan sopan santun.

"Itu sudah tugasku, kemarilah." Mia segera menggeser gorden biru itu dan terlihat sebuah bed kecil dan panjang. "Apa ada masalah? Sering terasa nyeri?" tanyanya.

Jules mengeleng. "Tidak, hanya sesekali dan itu tidak terlalu buruk."

"Itu bagus, boleh aku lihat?" tanya Mia setelah menyarungkan sarung tangan berwarna putih itu.

"Ya," jawab pemuda itu dengan pasrah.

Benar, dia adalah seorang pemuda yang manis dan penurut. Lalu bagaimana bisa pria tua bernama Hagen itu malah menjadikannya bulan-bulanan hanya untuk kepuasannya. Dosa apa yang telah dia lakukan sebelumnya? Seorang ayah dan anak itu terikat dalam hubungan darah, kromosom itu diturunkan kepada putranya. Bagaimana bisa dia tidak ikut merasakan sakit ketika menghajar anaknya.

Terdengar Jules sedikit mendesis, mungkin terasa sakit ketika plester berwarna putih itu dilepaskannya dengan perlahan. Luka itu terlihat sekarang, perkembangannya begitu bagus meski jaringan itu baru perlahan terbentuk menyatukan kembali kulit yang tersayat itu. Anak seusia ini, biasanya kalau ke dokter atau fasilitas kesehatan pasti akan bersama keluarga, dia sendirian di sini, kabur dari Vard dan entah apa yang berada di dalam pikirannya sekarang.

"Mungkin akan sedikit sakit, tidak mengapa kalau berteriak. Kamu tidak harus selalu terlihat kuat, bukan?" Mia berkata dan Jules membalasnya dengan senyum.

Perih itu menjalar pada syaraf yang berada di pinggangnya, entah kenapa kalimat dari dokter wanita ini seperti menyindir dan tepat menohok di hatinya. Dirinya pernah mendengar papanya berkata, seorang laki-laki harus kuat. Bukannya merintih hanya karena luka kecil. Mungkin itu benar. Jules memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya, seorang laki-laki harus kuat.

"Sepertinya kita belum berkenalan, aku dr. Mia." Mia melihat lagi luka itu, sudah bersih dan kini saatnya mengganti dengan perban yang baru.

"Ya, aku Jules Alston. Senang berkenalan dengan Anda Doc," balas Jules dengan sopan.

"Jules? Nama yang bagus, kamu ... tinggal di mana?" tanya Mia berbasa-basi untuk mengulur waktu.

"Itu, informasi pribadi Doc, katanya aku dilarang memberikan informasi pribadi kepada orang asing," jawab Jules beralasan, padahal dia hanya tidak tahu mau menjawab dengan apa. Tidak mungkin dia menjawab dengan jujur.

"Aku bisa apa kalau kamu berkata demikian." Mia tersenyum kecil dan telinganya mendengar suara mesin mobil yang begitu dikenalnya.

"Doc, boleh bertanya?" Jules menahan Mia yang mau beranjak itu.

"Tentu saja, bicaralah," balas wanita itu.

"Jam tanganku waktu itu, apakah Anda masih menyimpannya?" tanyanya dengan penuh harap.

"Jam tangan yang unik itu? Tenang saja anak muda, aku menyimpannya. Akan aku ambilkan sekalian aku ambil perban." Mia berpamitan dan Jules terlihat senang.

Topeng Sang Pewaris.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang