22. Kebesaran Hati.

268 40 12
                                    

"Kapan kamu terakhir kemari?" tanya Kimmy kepada pemuda yang tertunduk diam saja hingga beberapa menit lamanya itu.

"Aku, tidak ingat," jawab Jules dengan getir. "Aku bahkan tidak ingat bagaimana mamaku memelukku."

"Baiklah, pelan-pelan saja kalau begitu," balas Kimmy merangkulkan tangannya.

Jules dengan diam memandang lagi ke depan, sebuah guci yang begitu cantik itu berhiaskan banyak bunga yang wangi. Sebuah foto wanita cantik terpampang lebar namun tidak berlebihan. Dia memang begitu cantik dan lembut meski dirinya tidak bisa mengingat lagi kasih sayangnya. Pantas saja papanya tidak mampu memalingkan hati darinya.

"Kamu kenapa malah kabur dari kediaman pamanmu? Malah kabur ke rumahku," tanya Kimmy dengan lemah lembut, dia tidak bisa galak dengan anak kecil.

"Kalau tidak kabur, sekarang aku pasti berada di dalam pesawat dan pergi lintas benua. Tidak, aku tidak mau." Jules melepaskan tangan Kimmy itu dan menuju ke kursi.

"Kenapa?" tanya Kimmy mengikuti pemuda itu.

"Bibi bilang, papaku sakit, bukan? Butuh bantuan ku, bukan?" tanya Jules perlahan.

"Oh itu, tapi ... memangnya orang keras kepala itu mau terima bantuanmu?" tanya Kimmy setengah mengejek.

"Tidak perlu beritahu, bukankah biasa kalau donor itu anonim?" tanya Jules yang tidak mudah dipatahkan.

"Kenapa kamu mau melakukan itu? Hagen saja memperlakukan kamu dengan buruk," tanya Kimmy kembali mengejek pemuda di sebelahnya.

"Memangnya aku peduli, mau sejahat apapun tanpa papa aku juga tidak akan hadir di bumi ini." Jules memang sangat keras kepala.

"Anggap saja dia donatur sperma, kenapa tidak bisa anggap sesederhana itu?" tanya Kimmy yang berusaha menggali sekuat apa Jules ini.

"Dia tetap seorang papa, satu-satunya orang tuaku. Lagipula, bagaimana nanti bila kelak di surga aku bertemu dengan mama, ketika masih hidup aku tidak bisa menolong papa padahal bisa," jawab Jules hingga Kimmy sudah tidak berselera lagi bersuara.

Memang sepertinya tidak ada gunanya melarang anak yang baru berusia 17 tahun ini, dia dan kekerasan egonya sulit sekali diarahkan. Yang dilakukan tidak salah, hanya saja itu sedikit keterlaluan. Dia tidak harus melakukannya, apalagi kepada orang yang jelas-jelas tidak menginginkan kehadirannya.

"Begitu?" Kimmy mengembangkan sedikit senyumnya.

"Sudah jelas, bukan? Aku di sini sampai urusanku selesai," jawab Jules yang begitu keras kepala, tipikal keluarga Alston.

"Baiklah, aku tidak akan melarang." Kimmy tertawa kecil sekarang, terbayang bila Vard mengetahui percakapan ini. Pria itu harusnya beristirahat dulu, keponakannya kini sudah beranjak besar.

"Kapan bisa dimulai?" tanya Jules kemudian. "Semakin cepat semakin baik, bukan?"

"Semakin cepat, memang semakin baik. Tapi, tidak sesederhana ini anak muda. Kami harus yakin kalau kamu memenuhi syarat, tidak hanya usia dan kecocokan, ada banyak hal. Datanglah ke rumah atau ke rumah sakit, akan kuambil sedikit sample," jawab Kimmy yang berada di antara, bahagia tapi juga sedikit pusing.

"Ya baiklah," jawab Jules dengan mata berbinar.

"Kamu, tidak ingin memberi tahu pamanmu?" tanya Kimmy mencondongkan tubuhnya.

"Tidak, bukankah aku sudah berusia 17 tahun? Paman Vard belakangan ini hanya mendengarkan suaranya sendiri, kami tidak pernah menemukan solusi yang tepat. Ini pilihanku sendiri." Jules meyakinkan Kimmy.

"Baiklah ya baiklah," ujar Kimmy yang kemudian berdiri. "Kamu mau ikut ke rumahku? Ingat kamu pelarian sekarang dan tuna wisma."

Jules menggeleng. "Tidak, aku akan menginap di rumah temanku. Hanya saja ... ," ucapnya terpotong dengan ragu.

"Hanya saja apa?" tanya Kimmy yang memasukkan kedua tangannya pada mantelnya.

"Bisa kamu beri satu mobilmu?" tanya Jules setengah ragu.

"Kamu belum punya surat ijin mengemudi, astaga kenapa kamu selalu menempatkan aku dalam masalah?" keluh Kimmy mengeluarkan tangannya dengan sebuah kunci. "Bawa saja ini."

"Terimakasih," balas Jules dengan sopan memeluk Kimmy yang selalu bertindak sebagai malaikat penolongnya.

"Karena kamu sedang kabur dari rumah, pasti kamu juga tidak punya uang, ini terimalah. Tidak usah bilang terimakasih, aku sudah bosan mendengarnya." Kimmy menyerahkan sebuah kartu yang barusan saja diambil dari dompetnya.

"I love you Kimmy," pekik Jules memeluk Kimmy sekali lagi.

"Bicara apa kamu? Aku tidak menyukai bocah kecil, pergilah sana. Atau akan aku bawa pulang kamu." Kimmy mengusir pemuda itu dengan mengibaskan tangannya.

Jules segera berlalu dengan riang dan mata Kimmy hanya mampu mengekor saja hingga pemuda itu terlepas dari pandangannya. Desah pelan terdengar halus di ruangan yang hanya ada dirinya juga Emily yang telah berbentuk abu. Wanita itu kemudian berdiri dan mengambil setangkai bunga.

"Em, aku tidak tahu ini benar atau salah, tapi ... aku hanya ingin membantu putramu, dan secara tidak langsung membantu suamimu. Aku hanya berharap, semua baik-baik saja setelah ini. Kamu, bersabarlah. Aku janji, semua akan baik-baik saja." Kimmy meletakkan bunga itu di sana.

Emily hanya perlu bersabar lagi. Hagen dan Jules nanti akan datang kemari bersama, mungkin.

Tapi mungkin juga tidak.

***

"Aku hanya tinggal bersama mamaku, masuklah jangan sungkan. Tapi rumahku sederhana, tidak sebesar milik keluargamu mungkin." Newa membuka pintunya lebar mempersilahkan kawannya masuk.

"Ini sudah lebih dari cukup, terimakasih sudah menampungku," balas Jules yang mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Newa tampak senang, dia tidak berhenti bicara dengan riang. Jules hanya membalas sekali dua kali saja, matanya memandang ke arah dinding yang mana terpasang sebuah foto yang begitu besar, gambar dari seorang wanita yang tampak tegas juga seorang pemuda.

"Mamamu?" tanya Jules menatap foto itu.

"Cantik bukan? Itu mamaku," jawab Newa bersedekap di samping Jules dan ikut menatap ke arah dinding.

"Aku, tidak melihat gambar pria. Maksudku, papamu," ucap Jules menyatakan keheranannya.

Newa terdiam sesaat. "Sudah diturunkan, mama dan papaku bercerai beberapa tahun lalu."

"Maaf," gumam Jules merasa tidak enak.

"Tidak apa-apa, lagipula itu salahnya sendiri." Newa dengan santainya menuju sofa dan duduk di sana.

"Salah sendiri?" tanya Jules mengerutkan kening.

"Papa, berselingkuh. Menikah di belakang mama. Sempat tobat, tapi rupanya tergiur lagi hingga akhirnya banyak insiden yang terjadi. Memang berat bagi mama dan aku, tapi ... mungkin kesempatan itu memang tidak selalu bisa diberikan setiap saat dan papa harus sadar akan hal itu," jawab Newa dengan dewasa.

"Maaf, bukan maksudku bertanya begitu. Tidak perlu dibahas kalau memang tidak menyenangkan." Jules merasa tidak enak meski Newa terlihat biasa saja.

"Tapi, kami masih menjalin hubungan baik. Papa sudah meninggalkan rumah ini, tapi kami masih sering bertemu," balas Newa yang sepertinya masalah keluarga sudah tidak lagi mengganggu pikirannya.

"Itu bagus," sahut Jules setuju.

"Memang, apapun dosanya tetap saja tidak akan bisa menghapus kenyataan kalau dia adalah papaku. Bukankah begitu? Meski kesal." Newa tertawa mengakhiri kalimatnya.

Jules mengangguk setuju. Memang benar, apapun dosanya tidak akan pernah bisa menghapus kenyataan bahwa darah papanya juga mengalir di tubuhnya. Kalimat Newa meyakinkan dirinya bahwa memang seharusnya dirinya berada di sini hingga urusannya selesai.

Mungkin besok dia akan menemui Kimmy dan membiarkan wanita itu mengambil contoh darahnya untuk diperiksa. Seperti halnya cinta yang begitu sulit untuk dimengerti, kadang bisa dengan mudahnya memberikan apapun tanpa syarat. Orang tuanya tinggal satu, papanya tidak boleh pergi juga dan meninggalkan Jules sendiri.

Meski sebenarnya selama ini dia juga selalu sendiri.

***

Topeng Sang Pewaris.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang