♡ 03 - Hosea

41 9 10
                                    

Hosea!!!!!! Hosea!!!

Saat Hosea terlindas truk dan genangan darahnya membasahi jalan, aku baru bisa berteriak sekencang-kencangnya. Sekelilingku jadi ramai, entah apa yang saat itu mereka pikirkan. Beberapa mencoba menolong, beberapa hanya kasihan menatapku yang terus berteriak. Di tengah kerumunan, aku tak bisa dengar apa pun selain tangisanku sendiri.

Setelah Dion mengatakan hal yang tak masuk akal, di bawah pohon mangga yang rindang ingatan tentang kejadian itu kembali dan menghantui pikiran.

"Waktu itu aku belum sadar kalau sudah mati. Karena kamu berteriak seperti orang gila, jadi aku khawatir. Saat menyentuhmu, ternyata aku nggak bisa dan dalam sekejap sekelilingku jadi gelap. Aku nggak mau mati, aku nggak mau mati sia-sia. Lalu ada cahaya yang bersinar dari kejauhan,  setelah kudekati aku bangun di tubuh seorang anak bayi, ternyata aku reinkarnasi."

Apa yang ia ucapkan sangat di luar nalar, tapi tidak juga terdengar seperti karangan.

"Apa ini sungguhan?" tanyaku penuh harap, mataku mulai berkaca-kaca.

"Shiela, aku di sini."

Bibirku gemetar, isak tangis meluap begitu saja, perasaan sedih dan senang tercampur jadi satu, melambung tinggi di udara begitu aku melepasnya. Dion menepuk kedua pundakku dan memberikan tatapannya yang paling teduh, sorot matanya seperti air telaga yang sejuk membuatku ingin segera menyelaminya.

"Apa reinkarnasi beneran ada? Apa ini kamu, Hos? Ini kamu Hosea Nathaniel?" Kuraih tangannya yang bertengger di pundak.

Dion mengangguk, menyambut harapan yang kulayangkan. "Maafin aku Shiel, udah bikin kamu menderita selama ini."

Aku menggeleng. "Kamu nggak salah, Hos. Harusnya aku yang minta maaf."

Dion menjentikkan jarinya di keningku, aku jadi teringat masa lalu saat Hosea sering melakukannya. Selama ini Hosea tak pernah berubah, segala pikirannya tentang kami berdua masih ada di raganya yang baru. Bahkan setelah kami saling meminta maaf, wajahnya dipenuhi linangan air mata. Sayang sekali aku tak dapat memeluknya dengan penampilan seperti ini, hanya usapan lembut jari jemariku yang mampu mengusap pipi basahnya.

"Apa kita bolos aja, ya?" Masih banyak hal yang harus kuceritakan padanya, bertemu di taman di saat seperti ini tidak bisa lama-lama.

"Dasar guru bodoh! Shiela nggak berubah ya. Jangan begitu!" rutuknya.

Kemudian Dion menawarkan sesuatu, ia mau kami bertemu lagi selesai pelajaran—di ruang UKS atau di mana pun asal tidak terlihat yang lain.

"Oke, aku akan selesaikan tugasku secepatnya supaya kita bisa cepat ketemu."

"Bagus. Oh ya, Shiela. Kalau di kelas tetap panggil aku Dion, ya."

Kuanggukkan kepalaku pertanda setuju. Bukan masalah, itu perkara mudah. Selama Hosea ada di sini, aku tak perlu mengkhawatirkan apa pun. Ia menggandeng tanganku dengan erat dan senyuman hangat menghiasi wajahnya yang polos. Meski sekarang ia seorang anak-anak berusia dua belas tahun, aku tetap bisa merasakan Hoseaku yang sebelumnya.

Setelah sekian lama, akhirnya jantungku berdegup kencang, roda kehidupan kembali berputar. Aku bisa merasakan getarannya yang menggebu di dada. Jiwaku yang sebelumnya terasa kosong kini kembali ramai, riuh dengan sorak sorai. Seperti mimpi jadi nyata, aku bisa bertemu dengannya lagi.

"Ngomong-ngomong kenapa waktu itu kamu nangis kalau lihat aku? Apa aku menakutkan?" tanyaku sembari berjalan menuju ruang guru yang jaraknya lumayan jauh dari taman belakang.

Kukira ia tak mengingatnya, tapi Dion langsung menceritakan alasannya. Dulu saat upacara penerimaan murid baru kelas 1 SD adalah hari dimana aku baru jadi guru di sekolah ini.

Ketika Surya TenggelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang