♡ 05 - Bu Ririn

24 8 5
                                    

"Bu Syel!"

Jarum panjang sudah menunjukkan angka dua belas tepat, sebentar lagi jam pelajaran berakhir. Sempat kukira di ruang kepala sekolah kemarin akan terjadi masalah, ternyata beliau memintaku untuk lembur. Jika sampai Aruni benar-benar melaporkannya, maka mungkin karirku akan berakhir sekarang juga. Tak mungkin aku bisa duduk di kursi ini lagi dan mendengar celotehan Bu Ririn yang biasanya, tak bisa lagi aku dan Dion saling bertemu, itu yang paling parah. Syukurlah, sebab itu semua tak terjadi.

"Ada apa Bu?" kuputar kursiku ke arahnya.

"Tuh kan, Bu Syel nggak dengerin saya ngomong. Ini lho, saya punya banyak kontak cowok-cowok ganteng!" Bu Ririn menyodorkan ponselnya yang memiliki tingkat kecerahan layar maksimal.

Aku menyipitkan mata, menengoknya sebentar bukan karena tertarik, tapi aku ingin Bu Ririn diam. Kalau terus menolaknya, ia malah semakin cerewet.

Tok.. Tok.. Tok..

"Permisi, apa Bu Shiela ada?"

Batang hidung yang menyembul dari balik pintu disusul senyum berlesung pipi membuat suasana seketika berubah sejuk. Aku nyaris tak dapat melihat paras bocah SDnya melainkan paras Hosea yang selama ini kurindukan. Dion masuk setelah kupersilahkan, anak itu menenteng tas kecil—membawa aroma manis yang menguar dari dalamnya. Kemarin ia janji mau memberiku bolu pisang, pasti di dalam tas itu ada isinya. Aku segera menyuruh Dion untuk menemuiku di ruang konsultasi karena tidak mau Bu Ririn mengacau.

Ruang konsultasi sering digunakan Guru untuk membimbing siswa yang bermasalah atau mempunyai masalah pribadi. Itu sebabnya ruang tersebut memiliki desain kedap suara, sebab ada beberapa murid yang privasinya harus dijaga.

"Gimana, enak?" tanyanya sambil memangku tangan.

Dion tengah menunggu reaksiku, tetapi aku tidak dapat berkata-kata lagi sebab bolu pisang itu sangat lembut, wangi dan hangat. Setiap gigitannya membuat perutku terasa hangat, tidak ada lagi yang harus diucapkan selain hanya menikmatinya.

"Enaaaaakkk!! Pokoknya ini enak banget!" kuacungkan satu jempol sebab jempol yang satunya sedang asyik mencomot potongan bolu dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Pelan-pelan, Shiel. Ditelan dulu, jangan sambil bicara," Dion terkekeh melihatku tetapi senyumnya terlihat puas.

Kemampuan memasaknya masih seperti dulu, tidak ada yang hilang. Ingatannya tetangku juga tetap sama. Hanya pelajaran-pelajaran di masa lalu yang sedikit ia lupakan, mungkin ingatan tentang Biologi, Kimia, atau bahkan Kalkulus tidak tersimpan di memori inti.

"Eh, besok hari sabtu minggu kedua kebetulan aku libur. Mau jalan-jalan nggak?" tanyaku setelah menutup wadah plastik berisi bolu pisang dan menyisakan beberapa potong untuk dimakan di kontrakan.

"Serius!? Mau! Ayo! Kemana?" Matanya terbelalak, sudah kuduga reaksinya akan seperti itu.

"Ke Sea World, yuk! Inget nggak? Itu tempat kencan pertama kita dulu. Sekarang bangunannya sudah diperbarui, lho."

Dion mengangguk setuju, menampakkan senyum paling semringah, beberapa gigi susunya yang belum berubah jadi gigi permanen, masih dapat kulihat. Walaupun terlihat polos, tetapi suaranya terdengar sedang memasuki masa peralihan ke suara bariton.

"Aku akan menjemputmu dengan mobil."

"Lho, emang Shiela punya SIM?" Dion terkejut saat aku mengatakannya. Anak itu sampai mencondongkan badannya ke arahku.

"Punya lah, begini-begini aku bisa naik mobil, lho!"

Dion tertawa melihat reaksiku yang jengkel. Ia pasti tidak mengira bahwa orang ceroboh sepertiku bisa punya SIM.

Ketika Surya TenggelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang