4. Musuh

265 31 1
                                    

Eras kembali melanjutkan langkahnya. Berjalan mengitari sekitar istana sembari berusaha mengingat setiap bangunan, lorong dan tangga. Akan terlihat bodoh jika ia tersesat di tempat yang begitu luas ini. Dia sudah melupakan kejadian barusan namun kembali gagal. Semua tidak sesuai dengan harapannya.
 
Walau masih terasa asing di tempat ini tapi ia masih bisa mengamati dengan tajam keadaan sekitar.

'Eras Eras... semua orang menghormatimu, tapi kenapa orang-orang disetiap sudut istana menjelekkanmu diam-diam. Apa kau begitu naif atau memang tak tau kalau orang lain menginginkanmu mati..' Eras bergumam tak habis pikir dengan situasi ini.

Hitam dan putih.

Jahat dan baik.

Semuanya begitu samar. Orang-orang yang bermuka dua. Ah, betapa lelahnya melihat semua ini. Dengan kekuasannya seharusnya Eras bisa membuat orang berhenti berbicara buruk tentangnya.

Tampak dari kejauhan segerombolan tuan muda menghampiri Eras dari arah berlawanan. Penampilan mereka begitu mewah dan terhormat. Yang paling mencolok adalah seorang pangeran muda bertubuh gempal yang berjalan angkuh paling depan dengan mahkota emas di kepalanya.

Awalnya Eras hanya menganggap mereka angin lalu dan kembali melangkah acuh. Sampai salah satu dari mereka menabrak bahu Eras dengan sengaja. Ia sedikit terhuyung kesamping.

"Ini dia, pangeran Eras yang diberkati para Dewa.  Beruntung bisa selamat dari penyakit mematikan. Ternyata tubuh lemah mu cukup bisa di andalkan meski memang tak berguna."

Eras memandang pemuda yang sengaja menabraknya. Seorang tuan muda yang begitu arogan mengibaskan jubah nya demi memamerkan sebilah pedang berkilau yang tersemat di pinggangnya.

"Pedang pembelah jiwa ini adalah hadiah dari Ayahanda. Bukan bermaksud membuatmu iri adik, tapi aku berharap kau juga bisa mendapatkan pedang, meski kau dasarnya tak punya bakat pedang sedikitpun."

'Hahahah, hahahaha...'

Para tuan muda tertawa riuh mendengar ucapan pemuda sombong yang Eras sadari adalah kakak keduanya, yakni Pangeran agung Jaden. Anak kedua dari selir mulia. Pangeran Jaden tertawa menggelegar seakan melihat hal paling lucu di dunia.

'Pangecut kecil. Kau tak akan pernah bisa melawanku. Kau tidak memiliki keberanian.' senyum sinis terukir di wajah pangeran Jaden. Sampai kapanpun ia tak akan pernah berhenti membenci Eras.

Eras tak berhenti memandang orang yang disebut kakaknya. Ia tak pernah punya saudara di kehidupan sebelumnya. Hal yang selalu ia dengar, bahwa sesama saudara harus saling menjaga dan menyayangi. Tapi kenapa Pangeran Jaden memusuhinya. Eras patah hati, bodohnya ia berharap bahwa ia bisa merasakan bagaimana rasanya memiliki saudara di kehidupan ini. Nyatanya tidak ada yang tau mengapa Pangeran Jaden begitu membenci adiknya.

Apa dia iri karena Ayahanda begitu menyayangi pemilik tubuh sebelumnya?

Raja Hanar begitu menyayangi Eras meski ia terlahir lemah, tanpa bakat pedang maupun kultivasi. Sedang Jaden yang penuh bakat dan kerja keras tak begitu diperhatikan oleh Ayahanda.

Eras tak mengerti kenapa hubungan mereka begitu rumit.

"Berhenti menertawakannya teman. Kasihan dia sudah hampir mati."

'Hahahh'

'Hahahh'

Hati Eras melengos mendengar setiap kata yang Pangeran Jaden ucapkan. Seakan-akan pemilik tubuh sebelumnya meninggalkan rasa sakit yang Eras pahami kenapa. Pangeran Eras masih memiliki rasa kagum dan hormat pada Pangeran Jaden, tapi yang ia dapat hanya kebencian.

"Kakak kedua, tidakkah kamu sudah begitu  keterlaluan?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibir pucat Eras.

"Apa maksudmu bocah?" Pangeran Jaden menatap Eras garang. Seakan ingin menelannya hidup-hidup.

"Kenapa kau begitu membenci ku? Apa kau iri karena Ayahanda lebih menyayangiku?"

"Apa kau bilang?!"

Pangeran Jaden berteriak kalap. Tangannya meraih leher Eras dan mencekiknya tanpa segan. Hidungnya mendengus penuh emosi.

'Siapa yang membuat sampah ini begitu berani melawanku?'

"Uhuk, Uhuk! Lepaskan aku!"

Eras berusaha melepaskan tangan kakaknya. Tenaga orang di depannya begitu kuat. Memang ia belum sebanding dengan seorang prajurit pedang seperti Jaden.

Pangeran Jaden terkenal akan daya tubuhnya yang kuat. Eras berjanji dalam hati, ia akan menjadi lebih kuat. Ia akan belajar menguasai pedang dan berkultivasi. Ia tidak akan membiarkan tubuh ini berakhir sepertinya dulu.

"Sekarang kau sudah berani melawanku, adik? Beraninya! Kau yang memulai!"

Kebencian berkobar di kedua mata Jaden. Sedang Eras benar-benar hampir kehabisan napas.

"Tolong lepaskan!"

Para tuan muda tertawa melihat ketidak berdayaan Eras. Seakan hal ini merupakan tontonan yang biasa mereka nikmati. Tak ada satupun  dari mereka yang iba padanya.

"Aku tidak ingin membunuhmu sekarang, rugi sekali kalau aku tidak bisa menyiksamu lagi."

Pangeran Jaden melempar tubuh Eras sembarangan. Seakan ia adalah sampah yang patut di buang. Ia terhempas kencang ke lantai.

'Uhuk Uhuk,'

Eras dengan rakus mengambil napas. Ia mengelus lehernya yang kini memerah akibat cengkeraman tangan Jaden yang begitu kuat. Matanya menatap sedih pada kakaknya. Perasaan pemilik tubuh sebelumnya menguasai Eras kini. Rasanya begitu sakit diperlukan semena-mena.

'Lihat saja, lain tidak akan kubiarkan kau menindasku lagi. Kita akan menjadi lawan yang sepadan. Kau akan mengakuiku.' batinnya penuh tekad.

Ia berusaha bangkit tak ingin terlihat menyedihkan.

Pangeran Jaden tertawa lepas bersama antek-anteknya.

"Menyingkir!"

Pangeran Jaden menghempaskan Eras dengan tenaga dalamnya. Eras terlempar sekali lagi dengan kekuatan Jaden yang kuat. Pertama kali ia merasakan bagaimana Jaden hanya mengibaskan tangannya namun efeknya ia terhempas keras. Itulah kekuatan kultivasi.

Sebelum benar-benar pergi mereka satu persatu memberikan Pangeran Eras pukulan dan tendangan di tubuhnya yang masih terduduk membuat Eras meringis kesakitan. Ia hanya orang biasa yang tak punya kekuatan kultivasi.

"Awas saja jika ada yang berani melapor pada Ayahanda. Akan kuhabisi kalian semua."

Beberapa pelayan dan pengawal yang hendak membantunya membeku. Mereka menatap takut pada sosok Pangeran Jaden yang sudah berlalu. Namun mereka tak berani membantah ucapannya. Mereka hanya menatap kasihan pada Pangeran Eras yang meringkuk kesakitan di lantai. Sudut bibir dan matanya membiru.

Semua ini membuat Eras kembali mengingat kenangan pahit itu. Tak ada yang menolongnya. Ia hanya menjadi tontonan orang-orang. Eras tak ingin terlihat menyedihkan. Ia bangkit meski kesusahan. Tubuh ini benar-benar lemah hingga serangan seperti itupun tak bisa di bendungnya.

'Aku harus menjadi kuat. Aku harus bisa melindungi tubuh ini. Aku berjanji!'

Dunia tak berbeda menurutnya. Di masa depan maupun 500 tahun lalu. Selalu saja ada orang jahat yang menginjak orang lain. Meski ia lemah sekarang, ia akan melakukan segala cara agar bisa menjadi lebih kuat.

🗻🗻🗻

si Pangeran Jahat Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang