Prolog

3.7K 232 29
                                    

"Atas nama Harold! Pesanan atas nama Harold!" Gadis di belakang meja kasir berteriak memanggil pelanggan pertamanya hari itu.

Tak lama kemudian, pria jangkung yang tadi sibuk becermin di jendela kafe mendekat ke meja kasir. Lesung pipinya makin jelas terlihat saat dia tersenyum. Pesanannya telah tersedia di atas meja. Lebih cepat dari perkiraannya, mungkin karena hari masih pagi dan belum ada pelanggan lain yang mengantri.

"Dua lusin donat sama empat amerikano, ya, Kak," kata gadis itu sambil mencocokkan kembali pesanan Harold dengan struk pembelian.

Harold memperhatikan gadis di hadapannya. Kantung mata gadis itu terlihat tebal dan agak menghitam, pertanda kurang tidur dan istirahat.

Sepertinya pegawai baru, pikir Harold. Rasanya dia belum pernah bertemu dengan gadis itu. Dia kemudian mengeluarkan satu gelas kopi dari cup-holder dan mendorongnya ke arah si gadis kasir.

"Ini buat kamu," ucap Harold dengan suara baritonnya. Tentu saja diiringi seulas senyum lebar yang selalu berhasil membuat para wanita berdebar-debar.

Pipi si gadis kasir sontak memerah. Mulutnya komat-kamit hendak berbicara, tapi yang keluar hanya gumaman tidak jelas.

"Terima kasih, ya. Have a nice day." Harold mengakhiri kecanggungan di antara mereka, lalu melenggang pergi dari gerai kopi di pinggiran kota Jakarta itu.

Setelah memastikan kopi dan donatnya aman di kursi penumpang, Harold memacu mobil menuju Rumah Sakit Nusantara Sehat, tempatnya bekerja selama dua tahun terakhir. Sebenarnya, jadwal jaganya baru dimulai pukul delapan nanti. Namun, pria itu sengaja berangkat saat langit masih redup supaya sempat membeli kopi dan camilan bagi rekan-rekan jaganya nanti. Kesiangan sedikit, jalanan Jakarta sudah pasti padat dengan kendaraan. Belum lagi, dia akan kerepotan mencari tempat untuk mobil tunggangannya di parkiran rumah sakit. Dokter umum biasa sepertinya tidak mendapat jatah area parkir khusus seperti dokter-dokter konsulen yang lebih senior.

Selang beberapa menit kemudian, mobil SUV merah milik Harold telah terparkir di parkiran basemen rumah sakit. Harold menyempatkan diri becermin di spion mobil. Dia melicinkan kembali rambutnya yang telah diolesi pomade sebelum berangkat tadi. Setelah memastikan tidak ada cela pada penampilannya, barulah pria itu beranjak dari area parkir.

Pria berbadan atletis itu kemudian melangkah mantap menuju area istirahat yang hanya dapat diakses oleh para pegawai. Dia menitipkan sebagian donat kepada salah satu perawat yang baru datang untuk dibagikan di ruang istirahat perawat, lalu membawa sisanya ke ruang istirahat dokter.

"Orang yang nggak punya tanggungan hidup memang beda, ya, sama yang sudah pusing mikirin cicilan," sindir Ario yang baru saja bangun saat Harold meletakkan bawaannya di meja khusus makanan.

Harold sama sekali tidak tersinggung. Dia tahu Ario hanya iseng menggodanya karena tak lama kemudian sahabatnya itu mengambil salah satu kopi dan langsung menyesapnya tanpa permisi. Mereka sudah saling kenal sejak tahun pertama menjalani pendidikan dokter. Hanya saja, Ario langsung mengambil program spesialis setelah menyelesaikan internship, sementara Harold memilih bekerja di Manokwari selama beberapa tahun sebelum akhirnya memutuskan pulang ke Jakarta.

"Ah, memang nggak ada yang bisa menandingi kenikmatan segelas kopi panas di pagi hari," celetuk Ario dengan ekspresi lebai usai menandaskan kopinya.

"Semalam rame?" Harold bertanya sambil membuka lokernya.

"Ada dua korban kecelakaan yang harus dioperasi. Jadi, gue mesti stand by. Mana residen anestesi tahun ini pada lemot lagi." Ario mencomot salah satu donat yang dibawa Harold. "Lo beneran nggak jadi ambil spesialis?"

Harold tergelak. "Nggak kayaknya. Gue nggak ada energi lagi buat jadi PPDS, mending gue ikut pelatihan Emergency Medicine aja."

Jawaban Harold membuat Ario mendengkus kesal. "Ah, PHP lo! Padahal gue dah seneng kalau lo jadi residen di sini, lumayan bisa nyuruh-nyuruh lo ke sana kemari."

Perkataan Ario barusan membuat Harold teringat niatnya kembali ke Jakarta empat tahun lalu. Awalnya, Harold memang berencana untuk mengambil program spesialis, tapi pandemi COVID-19 yang sempat menyerang Indonesia membuatnya menunda rencana tersebut. Setelah situasi kembali normal. Harold kembali berpikir ulang. Rasanya, dia tidak punya energi lagi untuk menjalani program residensi yang begitu menguras tenaga. Harold merasa hidupnya sekarang telah begitu nyaman, lagi pula dia juga tidak punya ambisi apa-apa.

Kehadiran seorang perawat yang magang di Instalasi Gawat Darurat berhasil mengalihkan pikirannya. Harold segera menutupi ekspresi muramnya dengan senyuman.

"Permisi, Dok. Saya diminta Dokter Yana ngasih tahu kalau beliau ada urusan mendadak pagi ini. Jadi kalau Dokter Harold berkenan, operan jaganya rencananya akan dilakukan lebih awal," tutur pemuda kurus itu.

"Baik. Sebentar lagi saya nyusul. Makasih, ya." Harold tidak keberatan meski sebenarnya jadwal jaganya baru dimulai tiga puluh menit lagi.

Dalam kamus hidup seorang Harold Tanutama Wijaya, kepentingan orang lain harus selalu diutamakan dan urusan pribadinya biar menjadi nomor sekian. Setidaknya, itulah yang dia pikirkan sebelum bertemu dengan Mary Angelica Mulyabakti, gadis yang berhasil menjungkir-balikkan dunianya.

========

Ceritamela:

Halo. Buat yang belum mampir ke series Myrtlegrove Estate hasil roleplay di eventnya NPC2301 bulan Oktober 2023 lalu. Walaupun kalian belum baca, masih bisa ngikutin cerita ini, kok. Soalnya baik setting tempat, waktu, background, dan karakternya sanga berbeda. Hanya saja, karakter Harold Tanutama Wijaya ini awalnya terinspirasi dari karakter Harold Wayne yang saya tulis di cerita The Charming Doctor. Sedangkan, karakter Mary Angelica Mulyabakti itu dikembangkan oleh partner saya, izaddina, dari Mary Mitford di novel The Ambiguous Reporter. Di Myrtlegrove, sama sekali nggak ada unsur romance antara Harold dan Mary, tapi saya dan Dina sama-sama haus romance dan akhirnya sepakat untuk menghalu bersama, jadilah Harold dan Mary versi local modern AU ini.

Dalam proyek ini, saya akan menulis cerita dari sudut pandang Harold di work Love Shot ini, sedangkan Dina akan menulis dari sudut pandang Mary di Heart Shutter. Supaya memberikan pengalaman membaca yang berbeda, akan ada cerita Harold yang nggak tayang di tempat Mary, begitu juga sebaliknya. Bahkan, untuk yang scene yang sama pun, narasinya akan berbeda karena mengikuti isi pikiran tokoh masing-masing. Jadi, kalian harus pakai banget mampir juga ke Heart Shutter karena narasi batin Mary ini sungguh menghibur, makanya Harold jatuh cinta sejatuh-jatuhnya sama Mary.

Bab 1 Love Shot dan Heart Shutter insyaAllah akan tayang besok malam. InsyaAllah kedua cerita ini akan update rutin tiap Sabtu dan Rabu malam. 

Sebelum cuap-cuap ini lebih panjang dari prolognya, mari kita akhiri sampai di sini.

Jangan lupa vote dan add cerita ini di Library yak.

Love Shot - Harold (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang