Advice 21: Salurin Emosi Pada Tempatnya

614 76 18
                                    

Baru awal tahun, tapi Harold sudah sibuk. Rumah sakit tempatnya bekerja sedang mengadakan rangkaian acara untuk merayakan ulang tahun kesepuluh. Harold didaulat untuk menjadi moderator dalam beberapa acara seminar kesehatan yang akan diselenggarakan akhir Januari nanti. Belum lagi, dia juga diminta bantuan untuk menjadi model dalam konten promosi rumah sakit.

Sebagai orang yang tidak bisa bilang tidak, dia pun menerima tugas itu meski itu artinya jadwalnya makin padat dengan berbagai persiapan acara. Dia perlu mengemas jadwalnya sedemikian rupa agar masih bisa menyelipkan agenda kencan bersama Mary, apalagi jadwal gadis itu pun tak kalah padat saat menjelang pemilu seperti sekarang.

Setelah beberapa kali penjadwalan ulang, mereka akhirnya sepakat untuk jalan-jalan di Pantai Indah Kapuk pada hari Sabtu, mumpung Mary hanya perlu bekerja setengah hari. Harold malas kembali ke apartemen, takutnya kalau telanjur lihat kasurnya yang empuk dia malah tergoda untuk tidur. Jadi, begitu rapat persiapan seminar selesai, dia langsung menyetir menuju kantor Mary.

Karena pernah ke sana, Harold sudah hafal jalan. Dia sampai lebih cepat dari perkiraan. Seharusnya sebentar lagi sudah jadwal Mary pulang, tetapi gadis itu belum juga membalas pesan. Akhirnya, Harold berinisiatif untuk bertanya kepada satpam.

"Mbak Mary yang kecil itu?" Si satpam justru balik bertanya sambil memosisikan tangannya untuk menggambarkan tinggi badan Mary yang tak seberapa. Ketika melihat Harold mengangguk, pria berkumis tebal itu lanjut bicara. "Saya, sih, belum lihat Mbak Mary lewat sini. Kemungkinan masih ada di dalam."

Tiba-tiba, satpam itu menunjuk ke arah tangga. Mengikuti arah telunjuk si satpam, Harold melihat seorang lelaki berambut cepak menuruni tangga dengan terburu-buru.

"Itu temannya Mbak Mary, coba tanya aja sama dia, Mas." Si satpam menyarankan.

Harold menuruti saran tersebut dan menghampiri lelaki berbadan ceking itu.

"Permisi, Mas." Harold memasang senyum profesionalnya. "Mary-nya masih ada di dalam nggak, ya?"

Yang diajak bicara mengerutkan kening. Tatapan matanya tampak mengintimidasi. "Mas ini siapa? Ada perlu apa sama Mary?"

Harold memahami kecurigaan yang diarahkan kepadanya. Jika berada di posisi lelaki itu, mungkin dia juga akan melakukan hal yang sama.

Masih mempertahankan senyumannya, Harold memperkenalkan diri, "Saya Harold, temannya Mary. Sudah janjian sama Mary kemarin, tapi Mary belum balas WA saya."

Raut wajah lelaki cepak itu berubah ramah. "Oh, oke, Mas. Bentar, yak, gue panggilin dulu bocahnya."

Belum sempat Harold mengucapkan terima kasih, lelaki itu keburu naik lagi ke lantai dua. Untuk mengisi waktu, Harold memeriksa ponsel. Dia masih belum menyalakan notifikasi Instagram sejak minggu lalu. Kebetulan dia memang belum menerima endorse lagi, jadi tidak ada kewajiban khusus untuk aktif berinteraksi dengan para pengikutnya.

Biasanya, hati Harold selalu dipenuhi letupan kebahagiaan setiap kali dia akan bertemu dengan Mary. Bibirnya tidak bisa berhenti tersenyum dan rasa penatnya akan menguap. Kehadiran Mary selalu membuat hari Harold menjadi berkali lipat lebih cerah. Dengan suasana hati sebaik itu, sangat jarang Harold merasakan emosi negatif.

Sore itu, untuk pertama kalinya, kehadiran Mary tidak mampu mengusir amarah yang tiba-tiba merangsek masuk ke dalam hati Harold. Instagramnya penuh dengan notifikasi, beberapa orang mengirimkan pesan berisi tautan sebuah utas Twitter yang membongkar identitasnya sebagai sosok di balik Mashtama.

Di unggahan paling atas, foto Harold saat acara makan malam bersama keluarganya dan keluarga Sanggabuana disandingkan dengan beberapa foto yang dia unggah di akun Mashtama. Akun itu membandingkan fitur-fitur wajah yang tak tertutup masker pada kedua foto. Makin ke bawah, makin banyak bukti yang disajikan, mulai dari almamater sekolahnya, pekerjaannya, hingga tempat-tempat yang dia kunjungi selama beberapa bulan terakhir.

Love Shot - Harold (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang