Advice 28: Jujurlah Tentang Perasaanmu

662 93 50
                                    

*Jangan lupa klik dulu tanda bintang di bawah sebelum kelupaan*

=0=

Harold tahu, malam ini pertemuannya dengan Mary bukan dalam rangka pemotretan. Namun, waktu yang dia habiskan untuk bersiap-siap lebih lama dari biasanya. Mulai dari memilih pakaian yang akan dikenakan, menentukan gaya rambut, hingga bolak-balik becermin untuk memastikan tidak ada yang janggal dari penampilannya, Harold membutuhkan tak kurang dari 30 menit.

Sengaja Harold tiba sepuluh menit lebih awal dari waktu yang dijanjikan agar dapat menenangkan debar jantungnya. Harold deg-degan. Mary kemarin memang berkata ingin minta maaf dan menjelaskan duduk permasalahan yang membuat gadis itu menarik jarak. Akan tetapi, tetap saja Harold tidak bisa memastikan bahwa akhir pertemuan mereka akan sesuai harapan. Yang jelas, lelaki itu bertekad memanfaatkan momen ini untuk mengungkapkan perasaannya.

Take it or leave it. Jika titik yang Mary tuju berbeda dengan yang selama ini dibayangkannya, mungkin memang mereka tidak berjodoh. Walau perih, Harold akan menghargai keputusan itu.

"Vanilla flat white kayak biasanya, kan, Mas?" tanya Ragil saat melihat Harold memasuki kafe.

Harold mengangguk. "Tapi, kali ini, aku bayar, ya? Aku nggak lagi janjian sama Abigail."

Ragil hanya menjengkitkan bahu sebagai jawaban. Entah apakah itu maksudnya setuju atau justru sebaliknya.

Malam minggu, kafe itu cukup ramai. Akan tetapi, Harold berhasil mengamankan meja yang posisinya agak tersembunyi di sudut kafe. Lelaki itu memilih kursi yang menghadap pintu masuk agar dapat langsung menyadari saat Mary datang.

Sekitar lima menit kemudian, Mary muncul dengan diiringi denting pelan lonceng yang terletak di atas pintu. Gadis itu celingak-celinguk sebentar, sebelum akhirnya berhasil menemukan sosok jangkung yang dicarinya.

Saat melihat kedatangan Mary, ingin sekali Harold tersenyum lebar. Tadi, debaran jantungnya sempat kembali ke ritme normal. Namun sekarang, dadanya kembali berdentum kencang. Seutas rasa cemas kembali membelitnya dan menahan otot-otot wajahnya membentuk senyuman.

"Kupikir kamu bakal batalin janji mendadak dan tiba-tiba susah dihubungin." Harold tidak berniat menyindir. Kalimat itu spontan terucap oleh bibirnya dan langsung dia sesali saat itu juga.

"Nggak usah nyindir gitu, dong!" protes Mary, lantas gadis itu berdeham pelan, seakan sedang menahan diri untuk tidak mengomel lebih panjang.

"Ehem, sorry," lanjut Mary dengan nada lebih lembut.

"Nggak maksud nyindir, kok. Cuma khawatir kena PHP lagi." Lagi-lagi, Harold tidak dapat mengontrol lidahnya. Sungguh, dia benar-benar tidak bermaksud berkata dengan nada seketus itu. Namun, rasa kesal dan bingung yang selama beberapa minggu terakhir membebani pikirannya seakan berbondong-bondong menyeruak keluar.

Mary duduk di seberang Harold. Kepalanya kembali tertunduk. Beberapa menit terbuang begitu saja. Tidak ada yang berbicara. Harold sendiri bingung harus memulai dari mana. Bukankah Mary yang meminta bertemu? Seharusnya, Mary yang memulai pembicaraan, kan?

"Gue waktu itu udah—" Akhirnya, Mary mengangkat wajah. Sepasang mata berbentuk almon miliknya akhirnya menatap Harold. Alih-alih melanjutkan kalimat, gadis itu justru mengucapkan permintaan maaf dengan suara lirih.

"Udah apa?" Daripada permintaan maaf Mary, Harold justru lebih tertarik pada kalimat pertama Mary yang terpotong.

"Gue nggak bermaksud bilang lu ganggu di hidup gue." Mary tak mengindahkan pertanyaan Harold. "Gue kira lu udah sama Abigail. Gue nggak mau terlalu dekat sama cowok orang. Maaf."

Love Shot - Harold (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang