Tidak terasa malam telah menjelang. Sudah waktunya mengantarkan Mary pulang. Dari interaksinya dengan keluarga Mary, Harold langsung dapat melihat bahwa orang tua Mary cukup protektif. Harold tentu saja tidak mau mendapat nilai buruk dari ayah Mary dengan memulangkan gadis itu terlalu larut.
Karena tak ingin Mary masuk angin, Harold meminjamkan jaketnya kepada Mary. Tentu saja tubuh si mungil tenggelam dalam hoodie biru dongker ukuran XL itu. Harold sampai harus menahan tawa agar Mary tidak meledak dan menolak niat baiknya.
Angin malam mengusap lembut kulit Harold. Pria itu mulai menemukan keberanian untuk perlahan membuka diri tentang latar belakangnya. Sambil menyetir motor dengan kecepatan sedang, Harold mulai bercerita. "Kemarin hari peringatan kematian ibuku, Mar. Makanya aku nggak pernah rayain ulang tahun."
"Kenapa nggak cerita? Lu main ngilang aja kan gue panik—" Mary mendadak terdiam. "Maksudnya, gue jadi nggak bisa ngertiin sikon lu—ah, udahlah!"
Panik, ya? Harold agak kegeeran.
"Awalnya aku mau ajak kamu kemarin. Tapi, nggak nemu momen yang pas. Dan kamu pastinya masih sibuk sama urusan keluarga."
"Kayaknya gue banyak nggak taunya ya tentang keluarga lu." Helaan napas Mary terdengar cukup keras. "Gue mulu yang curcol. Lu cerita juga, lah, biar gue bisa mahamin lu."
Rasa bersalah menyelinap di hati Harold. Dia tidak bermaksud menutup-nutupi fakta tentang keluarganya. Hanya saja, dia memang tidak terbiasa membahas tentang mereka.
"Memangnya apa yang mau kamu tahu? Kamu bisa googling nama bapakku dan bakal tahu semua tentang dia. Kalau tentang ibuku, sudah banyak yang tadi kamu dengar dari Opa dan Oma."
"Nggak semua hal ada di Google ye, Bambang!" Mary memukul bahu Harold. "Maksud gue tuh kayak interaksinya kek, apa yang nyebelin, apa gimana. Yang kayak gitu mana bisa di-googling?"
Sebenarnya Harold berbicara dengan nada biasa. Namun, mungkin karena dia sedikit mengeraskan suara agar tetap terdengar di tengah embusan angin, Mary sedikit salah paham.
"Aku bingung juga jelasinnya. Aku jarang interaksi sama Bapak dan keluarga barunya. Keluargaku nggak kayak keluargamu yang hangat dan akrab."
"Sering-sering ngobrol sama Bapak gue aja berarti. Biar nggak direcokin mulu guenya." Mary terkekeh.
Kalau memang bisa begitu, tentu Harold tidak akan keberatan. Ayah Mary sangat menyenangkan diajak bicara, berbeda dengan ayahnya sendiri. Harold benar-benar merasa nyaman saat sedang bersama keluarga Mary.
"Ih, bau hujan!" celetuk Mary tiba-tiba.
Harold menghirup udara banyak-banyak. Benar saja. Dia dapat mencium aroma tanah yang cukup kuat. Menenangkan, tetapi juga membuat deg-degan. Dia tidak ingin Mary sampai kehujanan. Harold mulai menyesal kenapa tidak meminjam mobil Ayi' Fen lagi.
"Aku sih nggak masalah. Tapi kalau bapak kamu nodong aku biar cepat ngelamar kamu gimana?" Harold coba bergurau untuk menyingkirkan kekhawatirannya.
Candaan barusan dibalas dengan cubitan di lengan. Lelaki itu sedikit mengibaskan tangannya. "Hoi! Kalau aku nabrak gimana?"
"Ya jangan nabrak!" tukas Mary, lalu gadis itu kembali membahas gurauan Harold. "Ya ngeles aja! Emangnya lu beneran mau ama gue?"
"Mau-mau aja," jawab Harold spontan. Tidak perlu pikir panjang. Hal itu memang yang dia inginkan sejak beberapa minggu lalu. "Kenapa nggak mau?"
Kini, lengan Harold jadi korban pukulan Mary. Harold tidak bisa melihat ekspresi gadis itu, tetapi dia cukup yakin Mary sedang memberengut kesal.
"Lihat kakak kamu nikah, kamu nggak kepikiran buat nikah juga, Mar?" tanya Harold hati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Shot - Harold (End)
RomanceHidup Harold Tanutama Wijaya biasa-biasa saja. Hanya berkisar di rumah sakit, klinik, dan apartemennya. Dalam kamus Harold, kepentingan orang lain harus selalu diutamakan dan urusan pribadi biar jadi nomor sekian. Walau banyak cewek yang mau antre u...