Advice 30 - Bersandar Sejenak Jika Lelah

633 81 42
                                    

Semua surat sudah Harold tanda tangani. Operan jaga IGD pun sudah dilaksanakan. Kabar duka telah disampaikan kepada keluarga pasien tanpa kesulitan berarti. Meski sedih, mereka menerima kepergian wanita yang gagal Harold selamatkan tadi. Namun, Harold masih bertahan di rumah sakit untuk menunggu sampai masa observasi selesai dan jenazah pasien dapat dibawa pulang oleh keluarganya.

Layar komputer di hadapan Harold meredup lagi. Itu artinya, sudah lima belas menit lelaki itu hanya bengong di depan komputer. Harold menggoyang tetikus agar layar kembali menyala. Benda itu kembali menampilkan surat elektronik dari Universitas Nusantara yang menyatakan Harold lulus tahap awal seleksi program spesialis. Seharusnya dia senang, tetapi malam itu dia merasa tidak pantas untuk bersukacita.

Harold tahu, dia hanyalah dokter, bukan Tuhan yang dapat menentukan hidup mati seseorang. Tugasnya hanyalah berusaha sebisa mungkin untuk merawat pasien-pasien yang datang. Tadi, juga bukanlah pengalaman pertamanya gagal menyelamatkan nyawa pasiennya. Akan tetapi, Harold tidak pernah terbiasa menghadapi kematian. Apalagi, wanita tadi seusia dengan almarhumah ibunya saat meninggal.

"Permisi, Dok." Seorang perawat senior menghampiri Harold. "Jenazah pasien tadi sudah diserahkan kepada keluarganya."

Kepala Harold mengangguk pelan. Lelaki itu mengucap terima kasih dengan suara lirih. Bibir yang biasa tersenyum itu kini hanya serupa garis lurus.

"Dokter Harold tetap semangat, ya. Saya yakin Dokter sudah berusaha maksimal tadi." Si perawat coba menghibur.

Lagi-lagi, Harold hanya mengangguk. "Saya pulang dulu." Suaranya terdengar letih.

"Selamat beristirahat, Dok."

Biasanya, Harold akan menjawab salam itu dengan ucapan penyemangat yang serupa. Akan tetapi, malam itu Harold tidak punya tenaga yang tersisa.

Harold tahu, seharusnya dia tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Apa yang dikatakan perawat tadi benar adanya. Pasien datang sudah dalam kondisi kritis. Harold sudah berusaha semampunya, tetapi nyawa pasien tetap tak tertolong. Sayangnya, kalimat-kalimat penghiburan itu belum cukup untuk menepis rasa bersalah yang menggerogoti Harold dari dalam.

Ketika telah duduk di dalam mobil, Harold memeriksa jam tangannya. Sudah hampir pukul sepuluh malam. Belum cukup larut, tetapi tidak bisa dibilang sore juga. Biasanya, jam segitu, Harold sudah dalam perjalanan mengantarkan Mary pulang jika mereka sedang ada jadwal kencan.

Tidak terasa, sudah hampir dua bulan mereka menjalani hubungan yang lebih serius. Meski akhir-akhir ini jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, ikatan perasaan yang terjalin antara Harold dan Mary makin kuat. Mereka sudah merencanakan akan bertemu akhir pekan nanti, tetapi Harold tidak sanggup menunggu. Dia butuh bertemu Mary malam itu juga.

Untuk memastikan bahwa Mary ada di kos, Harold pun menelepon gadis itu.

"Mar, maaf ganggu malam-malam. Aku boleh mampir sebentar, nggak?" tanya Harold begitu Mary menerima panggilannya.

"Oh? Boleh. Ada apa?"

Harold tidak tahu dari mana harus mulai bercerita. Pikirannya sedang kusut. Alih-alih menjawab pertanyaan Mary, lelaki jangkung itu justru berkata, "Aku on the way ke kosmu."

Setelah mengakhiri panggilan, Harold langsung memacu mobil ke tempat Mary. Harold benar-benar merasa lelah, tetapi pulang ke apartemen tidak akan melegakan hatinya. Dia perlu pulang ke 'rumah' yang lain. Rumah yang membuatnya selalu merasa nyaman. Dan rumah itu adalah Mary.

=0=

Jalan menuju kos Mary sudah lumayan sepi. Harold bisa memarkir mobilnya dekat kos Mary. Ternyata, gadis itu sudah menunggu Harold di gerbang kos.

Love Shot - Harold (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang