Untung saja Harold adalah pria yang bisa memisahkan kehidupan pribadi dengan pekerjaannya. Kalau tidak, dia bisa mencelakakan orang karena salah diagnosa atau keliru meresepkan obat. Saat sedang bekerja, Harold menyimpan rapat-rapat kegalauan hatinya. Namun saat sedang sendirian di apartemen, pikirannya dipenuhi oleh Mary.
Meski bisa melalui hari-harinya dengan baik, Harold menjadi lebih cepat merasa letih. Sepulang kerja, dia sudah tidak punya energi tersisa. Yang bisa dia lakukan hanyalah mendengarkan lagu-lagu genre folks tentang patah hati hingga ketiduran. Besoknya, dia akan kembali menekan perasaannya agar dapat fokus bekerja dan berfungsi normal. Begitu terus setiap harinya.
Beberapa kali, Harold sempat ingin coba menghubungi Mary lagi. Namun, dia teringat betapa muramnya wajah Mary di pertemuan terakhir mereka. Kebencian yang tersirat dalam tatapan Mary waktu itu terus menghantuinya. Karena itulah selama seminggu terakhir Harold menenggelamkan diri dalam pekerjaan.
Harold sengaja menambah jadwal praktik di klinik dhuafa agar tidak perlu merasa kesepian selama akhir pekan, tapi tentu saja dia tidak bisa praktik sehari penuh. Karena itulah dia setuju saat Abigail mengajak bertemu Minggu sore. Mereka janjian di tempat biasa, yaitu di kafe milik Ragil–pacar Abigail.
Ketika Harold tiba di kafe, Abigail sedang bermanja-manja dengan pacarnya. Kebetulan jam makan siang sudah usai. Sebagian besar pelanggan kafe sudah kembali ke kantor masing-masing. Kafe itu memang berlokasi di dekat area perkantoran, tak heran jika pengunjungnya mayoritas adalah budak korporat.
"Gimana, Mas. Cewek Mas Harold suka, nggak, kuenya?" tanya Abigail dengan mata berbinar-binar usai menjawab salam Harold.
Harold tersenyum kecut. "Dia tiba-tiba ada kerjaan mendadak kemarin. Akhirnya, aku kasih ke temanku buat hadiah ke istrinya. Temenku dan istrinya suka banget."
Dari ekspresinya, terlihat jelas Abigail masih ingin bertanya. Akan tetapi, bibirnya terkatup kembali saat sang kekasih mencolek lengannya.
"Aku bikinin kopi dulu, ya, Mas." Ragil bangkit dari kursi. "Vanilla flat white kayak biasanya, kan?"
"Makasih, Gil. Maaf ngerepotin." Harold mengangguk meski sedikit merasa sungkan. Ragil tidak pernah mau dibayar atas gelas-gelas kopi yang Harold nikmati.
Sepertinya perasaan sungkan itu tergambar jelas di wajah Harold. Dengan gayanya yang medok, Ragil berkata, "Santai aja, Mas. Mas Harold, kan, dah banyak bantuin Abi dan nggak mau dibayar. Anggap aja kopi yang aku buatin sebagai ucapan terima kasih dariku dan Abi."
Kerja sama antara Harold dan Abigail memang tidak melibatkan materi. Harold tidak mau dibayar karena sebagai seorang dokter, dia tidak boleh mempromosikan produk-produk kesehatan. Selain itu, Harold memang berniat untuk membantu, bukan berbisnis.
Setelah Ragil pamit, Harold mencicipi beberapa kukis yang Abigail bawa. Kue-kue itu adalah produk baru yang ingin Abigail luncurkan ke pasar.
"Yang ini ada rasa kopinya, ya?" tanya Harold usai mencicipi salah satu kue. "Bubuk kopi asli?"
Abigail mengangguk. "Enak, nggak? Aku bikin bareng Ragil kemarin."
"Enak. Tapi, baiknya di-branding terpisah dari produk bebas gluten kemarin. Soalnya, ada kandungan kafeinnya, kan? Jadi, nggak cocok buat penderita epilepsi."
Abigail mencatat saran-saran Harold di tabletnya. Setelah itu, mereka pun beralih membahas komposisi beberapa jenis kue lain yang Abigail bawa.
Selesai berdiskusi, Abigail mengarahkan kamera ponselnya dan mencari sudut yang pas untuk melakukan swafoto. Sebagai seorang influencer dia memang terbiasa mendokumentasikan setiap kegiatannya. Biasanya, Harold tak pernah keberatan. Namun kali ini, lelaki itu buru-buru mencegah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Shot - Harold (End)
RomanceHidup Harold Tanutama Wijaya biasa-biasa saja. Hanya berkisar di rumah sakit, klinik, dan apartemennya. Dalam kamus Harold, kepentingan orang lain harus selalu diutamakan dan urusan pribadi biar jadi nomor sekian. Walau banyak cewek yang mau antre u...