Mary masih kesal kepadanya! Itu yang pertama kali melintas di benak Harold saat pesan balasan dari Mary menyambangi ponselnya. To the point dan tanpa emotikon. Gadis itu beralasan sibuk dan tidak bisa menemuinya.
Harold kembali terbayang pertemuan terakhir mereka yang tidak berakhir dengan baik-baik saja. Sepulang dari rumah Ario, Mary tertidur sepanjang perjalanan, lalu hanya mengucap terima kasih singkat sebelum turun dari mobil saat sampai di tujuan.
Biasanya di sela-sela jam istirahat, Mary sering mengirimi meme lucu atau link foto yang menurutnya menarik sebagai inspirasi pemotretan mereka berikutnya. Namun sejak hari itu, Mary tak pernah mengirimkan pesan lebih dulu. Dia hanya menjawab sekadarnya saat Harold menghubungi. Terkesan dingin dan sengaja menjaga jarak.
"Ya, itu salah lo sendiri, Kunyuk. Ngapain juga pakai nyebut Mary barbar dan bilang lo nggak mungkin suka sama dia. Udah denial, pakai acara nge-bully pula. Wajar, lah, kalau Mary ngambek. Masih untung dia mau bales WA lo." Bukannya menghibur, Ario justru menaburkan bubuk cabe di atas penderitaan Harold.
"Gara-gara lo yang mancing. Ngapain lo pakai cerita-cerita aib gue?" Harold tak kalah ngotot. Dia menyesal sudah repot-repot mentraktir Ario makan di sebuah restoran all-you-can-eat demi mendapat nasihat untuk permasalahannya. Bukannya memberi solusi, si sobat kurang ajar itu malah makin membuatnya overthinking.
"Itu gue bantuin lo. Kalau dia masih mau jalan sama lo setelah tahu semua itu, artinya masih ada harapan buat lo. Lah, lo sendiri malah blunder pakai bilang nggak bakal naksir cewek kayak dia."
Harold memberengut. "Harusnya lo bilang gue dulu, biar gue bisa ngatur strategi mesti respons gimana."
Helaan napas panjang terdengar keras dari bibir Ario. Raut mukanya melunak. Sambil menggeleng-gelengkan kepala dan juga membalik daging yang sedang dipanaskan di alat pemanggang, pria itu berkata, "Oke. Gue salah. Sorry sudah mojokin lo kayak kemarin. Gue nggak nyangka lo seserius itu suka sama Mary, soalnya selama ini lo cuek aja kalau lagi gue ghibahin kayak gitu."
"Terus gue mesti gimana?"
Ario tak lekas menyahut karena mulutnya tengah sibuk ber-huh-hah ria kepanasan mengunyah daging yang baru diangkat dari panggangan. Setelah berhasil menelan daging tersebut, barulah dia menanggapi pertanyaan Harold.
"Seperti yang gue lakuin barusan. Minta maaf dan ngaku salah."
Hal itu bukannya tak terpikir oleh Harold. Hanya saja, dia merasa kurang afdol minta maaf melalui WhatsApp. Rasanya kurang tulus dan tidak serius. Dia ingin meminta maaf langsung agar Mary dapat melihat seberapa menyesal dirinya. Namun, Mary selalu bilang sibuk saat diajak bertemu
"Samperin, lah. Lo tahu kos ama kantornya, kan?" saran Ario saat Harold mengungkapkan keresahannya.
Harold melirik jam tangan. Sudah terlalu malam untuk mendatangi Mary di kosan. Akhirnya, dia memutuskan untuk menunda rencananya hingga besok siang, usai jadwal jaganya di IGD.
"Memangnya lo berencana mendem perasaan lo berapa lama lagi, Rold? Gue rasa Mary bukan tipe cewek yang peka. Kalau lo nggak bilang, dia nggak bakal nyadar kalau lo punya perasaan khusus ke dia." Sebelum mereka berpisah, Ario menyempatkan diri melemparkan pertanyaan pamungkas.
Tak ada jawaban yang meluncur dari mulut Harold. Lelaki itu juga tak tahu kapan keberaniannya akan terkumpul. Dia masih khawatir salah langkah lalu membuat Mary benar-benar memutus hubungan dengannya, bahkan sebelum ada yang dimulai.
=0=
Harold Tanutama:
Mar, ada di kantor ga?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Shot - Harold (End)
RomanceHidup Harold Tanutama Wijaya biasa-biasa saja. Hanya berkisar di rumah sakit, klinik, dan apartemennya. Dalam kamus Harold, kepentingan orang lain harus selalu diutamakan dan urusan pribadi biar jadi nomor sekian. Walau banyak cewek yang mau antre u...