Advice 17: Pegangan Erat-Erat Kalau Boncengan

658 93 34
                                    

Harold tiba di rumah beberapa menit sebelum pukul tujuh. Meski matahari telah terbenam sekitar sejam lalu, hawa panas masih menguasai udara. Harold memang sudah terbiasa dengan cuaca panas di Jakarta, tetapi rasanya tidak segerah udara di Surabaya. Mungkin juga karena hari ini, dia lebih banyak beraktivitas di luar, bukan di dalam ruangan ber-AC seperti di Jakarta.

"Sudah makan, Har?" Opa yang sedang bersantai di teras bertanya ketika Harold turun dari motor.

Harold mengangguk sambil menyangkutkan helm di spion. "Sudah, Opa. Tadi, makan bakso di tempat Cak Man."

Warung bakso langganan mendiang ibunya itu selalu Harold singgahi setiap pulang dari pemakaman. Memang, warung tersebut telah berpindah lokasi dua kali dan yang mengelola kini bukan lagi Cak Man yang asli, melainkan salah satu anaknya. Namun, rasa baksonya masih autentik seperti yang dulu selalu Harold dan ibunya nikmati setiap akhir pekan, waktu sang ibu masih belum terperosok dalam jurang depresi berkepanjangan.

"Besok, kamu jadi ajak temanmu ke sini, kan?" Opa melemparkan pertanyaan baru.

Ah, iya. Mary. Harold baru sadar bahwa sejak pulang dari rumah Mary kemarin, dia belum mengabari gadis itu. Semalam dia langsung ketiduran, sementara seharian ini ponselnya ketinggalan.

Sebelum mereka berangkat ke Surabaya, Mary memang sudah mengiakan ajakannya untuk melakukan pemotretan pada tanggal 2 Januari, tetapi Harold belum bilang apa-apa tentang rencananya mengajak gadis itu bertemu Opa dan Oma. Dia juga belum memastikan apakah Mary dapat menemaninya seharian berkeliling Surabaya atau hanya punya waktu satu-dua jam untuk sesi pemotretan.

Belum sempat Harold menjawab pertanyaan Opa, Oma yang duduk di sebelah pria tua itu ikut berbicara, "Iya, Har. Oma perlu siapin makanan apa besok?"

"Nggak perlu repot-repot, Oma. Saya rencananya mau ajak Mary kulineran mumpung lagi di Surabaya."

Harold terdiam sejenak. Sebuah ide sekonyong-konyong melintas di benak. Besok adalah hari ulang tahunnya. Ada suatu ritual khusus yang selalu dilakukannya pada hari itu. Sepertinya, akan lebih menyenangkan jika Mary juga ikut serta dalam tradisi tahunan keluarganya itu. Harold pun sedikit meralat pernyataan barusan. "Tapi, kalau boleh, makan mi ulang tahunnya sore saja, pas Mary ke sini."

"Boleh, lah. Nanti, kabarin ae kalau wis mau pulang, biar Oma langsung belikan minya."

"Makasih, Oma," ucap Harold seraya menyunggingkan senyuman. "Saya permisi mandi dulu."

Harold pun langsung melipir ke kamar. Kaos yang dikenakannya terasa lengket ke kulit. Dia sudah tidak sabar membasuh diri. Pesan kepada Mary rasanya bisa menunggu beberapa menit lagi.

-0-

Perasaan Harold sudah jauh lebih baik setelah mandi. Air dingin yang mengguyurnya tadi seperti juga ikut meluruhkan segala duka yang memeluknya erat-erat hari ini. Masa berkabungnya sudah resmi berakhir. Kini dia sudah siap untuk menyimpan kembali kenangan-kenangan buruknya di masa lalu dan mulai memikirkan masa depannya.

Biasanya, Harold tak terlalu bersemangat menyambut hari ulang tahunnya. Sudah bertahun-tahun Harold tak merayakan, kecuali tradisi makan mi yang dia lakukan demi menghargai Opa dan Oma. Namun, ada yang spesial dengan ulang tahunnya besok. Dia sudah menyusun rencana untuk menghabiskannya bersama orang yang spesial. Sekarang, saatnya memastikan apakah orang tersebut mau menemaninya sesuai rencana.

Begitu ponsel Harold menyala, rentetan pesan yang dikirimkan Mary berduyun-duyun masuk. Mulai dari mengulangi permintaan maaf, hingga terang-terangan bertanya apakah dirinya marah kepada gadis itu.

Mary kebingungan mencarinya!

Harold tersenyum bangga. Jika Mary mengkhawatirkannya sedemikian rupa, bukankah itu pertanda baik? Bisa jadi, gadis itu juga menyambut perasaannya, kan?

Love Shot - Harold (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang