Malam itu, Harold tidak bisa tidur, padahal besok dia berniat jogging mumpung sedang tidak ada jadwal shift pagi di IGD. Seharusnya dia sudah tidur dua jam lalu supaya bisa bangun lebih awal keesokan harinya. Namun, pria itu justru sibuk scrolling sosial media dan menjelajah internet demi mencari inspirasi untuk konsep pemotretan bersama Mary weekend nanti.
Lelaki itu tidak menyadari bibirnya selalu otomatis tersenyum setiap ekspresi manyun Mary melintas di benaknya, pun tidak sadar bahwa tingkahnya sekarang menunjukkan ciri-ciri orang yang sedang kasmaran. Yang dia tahu, hidupnya akhir-akhir ini terasa membosankan, kecuali saat dia sedang bersama Mary.
Jemari Harold terus menggulir layar ponsel untuk mencari tahu spot-spot foto yang sedang populer di Jakarta. Sebenarnya, tidak ada deadline endorse yang mendesak. Stok fotonya masih cukup untuk dua minggu ke depan. Dia tidak butuh jasa fotografer. Dia hanya ingin bertemu Mary lagi.
"Ke mana, ya?" Harold merebahkan punggung ke kasur. Pelupuk matanya mulai terasa berat, tapi dia masih enggan tidur sebelum menemukan tempat yang tepat.
Di kota metropolitan itu, banyak lokasi menarik yang bisa dikunjungi, tapi Harold khawatir pertemuannya dengan Mary hanya akan berlangsung satu atau dua jam saja. Kalau masih bisa ditempuh dengan motor, kemungkinan besar Mary akan mengusulkan langsung bertemu di lokasi tujuan. Tampaknya mustahil mengajak gadis itu nongkrong lebih lama jika datang dengan kendaraan masing-masing.
"Mungkin ke luar kota sekalian."
Harold kembali berkutat dengan ponselnya dan memperluas daerah pencarian. Tempat yang dituju harus cukup jauh supaya Mary mau berangkat bersamanya, tapi juga cukup dekat untuk dijangkau dalam satu-dua jam perjalanan menggunakan mobil. Dia sampai membuat daftar berisi kandidat lokasi yang dapat dikunjungi, lalu menuliskan pro dan kontra masing-masing lokasi. Harold sendiri bingung kenapa dia mau repot-repot seperti itu, tapi tetap saja dia melakukannya hingga ketiduran.
=0=
Akhirnya setelah pertimbangan panjang sejak semalam, Harold tahu harus mengajak Mary ke mana.
Kebun Raya Bogor!
Ide itu muncul ketika Harold sedang lari di treadmill–dia tidak jadi jogging karena kesiangan. Harold yakin Bogor adalah pilihan yang sempurna. Jika jalanan lancar, perjalanan ke sana hanya butuh sekitar tiga jam untuk pulang pergi. Mereka bisa sekalian piknik di sana dan mengobrol hingga bosan.
Usai menentukan pilihan, Harold mulai merancang tema yang akan digunakan. Dia juga menyiapkan konsep foto yang cukup masuk akal agar Mary tidak berpikiran macam-macam. Jangan sampai Mary salah paham. Harold hanya ingin menghabiskan waktunya dengan gadis itu, tidak ada maksud lain, yah setidaknya untuk saat ini.
Saking asyiknya mempersiapkan semua itu, Harold sampai lupa waktu. Dia baru sempat mengabari Mary tentang rencananya usai salat Jumat. Tentu saja, Mary langsung mengomelinya.
Mary Angelica Mulyabakti:
Buset, dadakan beut kek tahu bulat 😀Harold:
Sorry. Semalem ketiduran. Lupa mau WA.Ga bisa ya? Kalau Minggu pagi?
Harold menunggu balasan Mary dengan harap-harap cemas. Kalau gadis itu tidak bisa juga, siapa yang akan menghabiskan aneka camilan yang sudah telanjur dibelinya? Sepulang dari gym tadi, dia kalap berbelanja di supermarket, sampai tidak ingat kalau harusnya dia menghubungi Mary lebih dulu. Karena tidak tahu camilan apa yang Mary gemari, Harold membeli berbagai jenis camilan.Mary Angelica Mulyabakti:
Capek bet keknya lu jadi dokter ...
Harusnya lu ngomong semalem biar guenya bisa geser jadwal kerja,
soalnya gue harusnya libur hari ini. Tapi Minggu pagi bisa, sih 🤔
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Shot - Harold (End)
RomanceHidup Harold Tanutama Wijaya biasa-biasa saja. Hanya berkisar di rumah sakit, klinik, dan apartemennya. Dalam kamus Harold, kepentingan orang lain harus selalu diutamakan dan urusan pribadi biar jadi nomor sekian. Walau banyak cewek yang mau antre u...