Hi, teman-teman. Jangan lupa divote dulu yuk bab ini. Biar apa? Yak, betul. Biar saya senang. Hehehe.
=0=
Butuh waktu cukup lama sampai pesan Harold dibalas Mary. Itupun isinya singkat, padat, dan tidak sesuai harapan.
Mary Angelica Mulyabakti:
Sori, nggak bisa.
Raut wajah Harold berubah murung. Alih-alih kesal atau marah, dia sebenarnya lebih ke merasa sedih. Sudah dua minggu mereka tidak bertemu. Selama dua minggu itu juga komunikasi mereka tidak seintens yang lalu-lalu. Harold rindu mendengar suara tawa Mary. Dia kangen mengobrol banyak hal dengan Mary. Namun ternyata, Mary tidak merasakan hal yang sama.
"Kalau Mary nggak mau diajak ketemu, lo samperin aja langsung."
Saran Ario kembali terngiang di telinga Harold. Sepertinya memang tidak ada pilihan lain. Daripada terus-terusan berasumsi yang tidak-tidak, lebih baik dia menghampiri Mary dan bertanya langsung. Apa pun keputusan Mary, dia akan menerimanya. Setidaknya, dia mendapat kepastian.
Harold menyetir ke kantor Mary. Jantungnya berdebar kencang, sayangnya untuk alasan yang berbeda dari biasanya. Kali ini, debaran itu timbul karena rasa takut. Dia takut Mary bertambah marah jika dia mendatangi gadis itu tanpa izin. Namun, dia juga tidak tahan dihantui pikiran-pikiran buruk yang kerap menyelinap ke kepalanya.
Motor Mary tidak terlihat di parkiran MiniMasa, tetapi gadis itu kadang-kadang naik kendaraan umum. Harold memutuskan untuk turun dan memastikan sendiri. Sayangnya, satpam yang biasa berjaga di dekat pintu masuk tidak kelihatan batang hidungnya.
Harold celingak-celinguk memperhatikan sekeliling. Dia dapat mendengar riuh suara orang bercakap-cakap dari ruangan lain, tetapi merasa sungkan jika langsung menyelonong masuk tanpa permisi. Untungnya, seorang gadis dengan rambut ikal yang menjuntai hingga dada menuruni tangga. Harold buru-buru mencegat.
"Permisi, Mbak. Kenal Mary, nggak?" tanya lelaki itu sambil memasang senyum manis. Meski batinnya tengah tidak baik-baik saja, dia tetap berusaha untuk terlihat ramah di hadapan orang lain, terutama orang yang tidak dikenalnya.
"Kenal ...." Gadis itu menatap wajah Harold lekat-lekat. Lalu beberapa detik kemudian, matanya membelalak lebar. "Lho, ini Mashtama, ya?"
Rupanya, gadis itu mengenali Harold. Pasti salah satu pengikut setia akun Mashtama.
Untuk menyembunyikan rasa kagetnya, Harold pura-pura memperbaiki letak kacamata. "I-iya. Jadi, Mbaknya kenal Mary, nggak?"
Bukannya menjawab, gadis itu malah berteriak memanggil teman-temannya. "GUYS, ADA MASHTAMA REAL!"
Beberapa gadis lain melongokkan kepala dari ruangan di samping lobi. Ada juga yang mengintip dari lantai dua.
Si rambut ikal langsung menyeret teman-temannya untuk mendekat. Tiba-tiba saja Harold dikepung dari segala arah. Kalau dia tidak salah hitung, total ada lima gadis yang merapat kepadanya.
Dengan mata berkedip genit, gadis berambut ikal itu mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri. "Kenalin, Gisel."
Tak ingin membuat suasana menjadi canggung, Harold balas menjabat tangan berkutek merah itu. Gadis-gadis lain pun tak mau kalah ikut menyebutkan nama masing-masing.
"Boleh foto bareng nggak, Mas?" tanya Gisel dengan nada kenes.
Tak punya pilihan lain, Harold pun melayani permintaan swafoto tersebut.
Sambil merangkul lengan kokoh Harold, Gisel menoleh ke belakang dan berceletuk, "Parah si Mary. Masa yang kayak gini dibilang nyebelin?"
Gisel memang sedang berbicara dengan temannya, tetapi karena posisi mereka yang dekat, Harold ikut mendengar. Senyum Harold perlahan memudar. Rasa kecewanya kian membesar. Tak dia sangka-sangka, ternyata Mary menganggapnya sebagai sosok menyebalkan. Apa karena dia kerap mengomel ketika Mary menganggap enteng luka dan lecet yang mencederainya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Shot - Harold (End)
RomanceHidup Harold Tanutama Wijaya biasa-biasa saja. Hanya berkisar di rumah sakit, klinik, dan apartemennya. Dalam kamus Harold, kepentingan orang lain harus selalu diutamakan dan urusan pribadi biar jadi nomor sekian. Walau banyak cewek yang mau antre u...