Advice 18: Sadar Sama Umur

665 92 29
                                    


Matahari bersinar garang di atas kepala. Hal pertama yang terlintas di kepala Harold adalah es krim. Dia tidak bisa berhenti membayangkan menyantap es krim yang lembut dan dingin. Karena itulah, usai pemotretan, Harold langsung melajukan motornya ke kedai es krim legendaris di Surabaya.

Dalam suasana liburan seperti sekarang, kedai tersebut tentu saja ramai oleh pengunjung. Apalagi, tempat itu sering mendapat ulasan bagus dari para pemengaruh di bidang kuliner. Untung saja, mereka berhasil mendapat tempat yang cukup nyaman di salah satu sudut kedai.

Harold memesan satu scoop es krim rasa raspberry, sedangkan Mary memilih rasa mint chocolate.

"Mar, aku boleh minta foto-foto kita pas di acara nikahan kakak kamu nggak?" Harold membuka pembicaraan. Tempo hari, Mary langsung menyambar photostrip yang dicetak oleh vendor photobooth dan menyimpannya sendiri. Harold bahkan tidak sempat melihat hasilnya.

"Oh, boleh. Gue kirim di WA aja?" Mary balik bertanya.

"Yang hasil photobooth juga, ya."

"Ngapain?" sergah Mary spontan.

Pipi Mary yang memang sejak tadi memerah karena kepanasan, kini makin membara. Entah apa yang membuat gadis itu tersipu. Yang jelas, nada bicaranya terdengar lebih defensif dan sorot matanya menyiratkan rasa curiga.

"Buat aku simpan di dompet," jawab Harold santai. Lelaki bertungkai panjang itu tidak sedang bercanda. Dia memang berniat melakukannya. Jika sewaktu-waktu butuh moodbooster, dia hanya perlu membuka dompet dan mengenang kembali hal-hal indah yang dijalaninya bersama Mary. Sekalian juga dia gunakan untuk mengusir gadis-gadis yang berusaha mendekatinya.

"Haaah?" Mary melongo. Kedua matanya membulat seakan menunjukkan bahwa gadis itu merasa pernyataan Harold agak di luar nalar. "Biar apa, gue tanya?"

Harold menaikkan sebelah alis. Seringai usil menghias wajahnya. "Pakai tanya. Bukannya itu hal yang wajar dilakuin orang pacaran ya?"

"Eh, kita nggak pacaran beneran ya, anjir!" Mary melayangkan protes.

Seringai Harold kini ditukar dengan bibir yang mengerucut. "Padahal beneran juga nggak papa lho."

Mary melayangkan pukulan ke lengan Harold. "Enteng banget itu mulut ngomong! Emangnya pacaran segampang itu?"

Harold menarik tangannya. Makin hari, tenaga pukulan Mary makin keras saja. Tampaknya Harold masih punya PR besar untuk meyakinkan Mary. Padahal, dia super serius dengan ucapannya. Lelaki itu jelas saja tidak keberatan menjadi pacar sungguhan Mary. Hal itulah yang sedang diperjuangkannya sekarang.

Sama sekali tidak sulit menyukai Mary dan segala keunikan gadis itu. Namun, Harold juga sadar bahwa tidak baik memaksakan kehendak. Bukannya kemarin dia sendiri yang bilang akan sabar menunggu Mary siap?

"I don't know." Harold menjengkitkan bahu. "Explain to me," katanya setengah penasaran. Selama pertemanan mereka, Harold belum pernah mendengarkan pendapat Mary tentang hubungan romansa dua anak manusia.

"Sadar umur, Rold. Di umur-umur segini pacaran nggak cuma perkara naksir-naksir doang ...,"

Oke. Harold menyesal sudah menuntut Mary penjelasan. Belum-belum, gadis itu sudah membawa-bawa umur. Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Dia tidak perlu diingatkan tentang umur.

"... Harus cocokin keluarga, visi-misi, terus—"

Demi menghentikan ocehan Mary, Harold menyorongkan es krim cone yang dipegangnya ke mulut Mary. "Cobain deh. Yang rasa rapsberry enak."

Love Shot - Harold (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang