Sudah dua hari sejak Dovin pulang dari rumah sakit, sejak itu pula Dovin lebih banyak diam dikamarnya.
Masih dengan penuh rasa bersalah, Dovin tidak pernah berani untuk menenangkan sang bunda yang menangis saat Dovin datang untuk makan bersama.
Dovin tidak pernah berani menatap sang ayah yang terlihat khawatir campur kesal saat menatap kearahnya, membuatnya terkadang bingung dengan tatapan itu.
Dovin juga tidak pernah berani untuk mendekat pada Haikal yang terlihat jelas semakin menjauhinya meski beberapa hari yang lalu Haikal datang membantunya dikamar.
"Gimana aku bertahan hidup kalau selamanya kayak gini?"
Pertanyaan itu selalu berputar dikepalanya. Tentu, dia tidak mungkin selamanya seperti ini.
"Kakak, kalau benar semuanya karna aku, kalau benar semuanya terjadi karna adanya aku, aku mohon maaf ke tuhan, aku minta maaf ke kakak. Tolong, maafin aku, tolong. Aku capek, demi tuhan, aku bahkan gak bisa tidur, aku merasa bersalah setiap detiknya"
Perlahan, Dovin beranjak dari kasurnya, meyakinkan diri dengan menatap pantulan dirinya dikaca, menghela nafas berat, berdo'a didalam hatinya, hingga akhirnya pergi dari kamar menuju lantai pertama, dimana kamar sang bunda dan ayah berada.
Dia terdiam beberapa saat didepan kamar, menatap kosong pintu berwarna kecoklatan itu saat mendengar suara Haikal dan ayah didalam sana tengah menenangkan bunda yang terisak.
Dovin masih ingat jelas bagaimana tidak ada yang peduli keadaannya dirumah sakit karna tidak ada satupun yang datang. Dovin ingat jelas bagaimana tidak ada yang datang menjemputnya saat diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Dovin ingat jelas bagaimana hari-harinya semakin terasa berat dan penuh rasa bersalah. Dovin ingat jelas.
Dia tau, dia tau hidup tidak hanya berfokus padanya. Tapi, apakah salah dia hanya meminta perdulinya mereka meski dia sudah tidak sesakit dulu? paling tidak karna dia adalah Dovin, anak dari bunda dan ayah, juga adik dari Haikal dan Jenar.
Paling tidak karna semua itu.
Dia menghela nafasnya panjang, jantungnya berdegub jauh lebih kencang.
Ada perasaan ragu jauh dilubuk hatinya, tapi disisi lain dia merasa yakin harus melakukan ini semua.
"Bunda" panggil Dovin membuka pintu kamar tersebut tanpa ingat untuk mengetuk terlebih dahulu saking takutnya.
Ketiganya terdiam karna terkejut dengan Dovin yang tiba-tiba datang, namun tidak lama bunda kembali terisak sambil menggumamkan nama "Jenar" berkali-kali.
Sungguh, hatinya amat terasa sakit melihat bagaimana kacaunya bunda dihadapannya saat ini.
"Tuhan, apa boleh aku berharap semua ini mimpi? apa boleh aku minta kak Jenar kembali dan aku sebagai gantinya? Tuhan, aku lelah, aku sakit, lebih dari saat jantungku kambuh. Kali ini sakitnya berbeda, dan jauh lebih menyakitkan"
Ayah yang awalnya berada dikursi beranjak untuk mendekat pada Dovin, niatnya hendak bertanya ada apa sehingga Dovin datang ke kamar.
Namun, itu semua terhenti saat melihat Dovin yang menatapnya penuh ketakutan dan tanpa sadar mundur beberapa langkah darinya.
Jendra sendiri melihat bagaimana Dovin tanpa sengaja menjatuhkan gelas kemarin sore. Tatapannya saat ini sama dengan tatapannya saat itu, saat Jendra dan Mawar masuk kedapur setelah mendengar suara pecahan.
Bukan, tatapan itu bukan karna gelas yang pecah, namun karna melihat kedatangan mereka.
Jendra melihat, namun tidak mengerti.