Erik

9 1 0
                                    

Erik memandang wanita paruh baya di hadapannya menerka. Kedua alisnya merapat seiring dengan perasaan tak nyaman di dadanya. Kedua telapak tangan yang mengenggamnya erat terasa begitu dingin, perasaan dingin tak mengenakkan yang menjalar hingga ke ulu hatinya. Mata yang menatapnya masih memancarkan sinyal yang tak lagi asing untuknya. perpisahan.
"Maksud bu Glen, saya-"

Belum sempat Erik menyelesaikan kalimatnya, wanita paruh baya itu menyergah. "Kamu tak perlu kembali," ia mengulangi kalimatnya, kali ini dengan penekanan. Masih memandang Erik dengan tatapan lembutnya yang semakin lama terlihat seperti kasihan.

"Saya-di usir?" Ia memaksakan dirinya tersenyum
"Tidak, tidak, bukan begitu Nak Erik," Glen menggeleng cepat. "Nak Erik kan sudah besar. Nak Erik juga tahu sendiri akhir-akhir ini keadaan panti juga kurang bagus. Ibuk mengerti Nak Erik masih sekolah-"

"Erik paham," ia tersenyum lembut, ia tahu cepat atau lambat ia harus pergi. digenggamnya kedua tangan wanita yang mengasuhnya sejak kecil dengan erat. Wanita yang sama yang memberinya kasih sayang yang sebelumnya tak pernah ia dapatkan di jalanan. ia tak kuasa melihat kedua mata pengasuhnya yang memerah, kantung mata dan lipatan di wajah tak dapat menyembunyikan lelah dibalik senyuman lembut yang selalu terpasang bertahun-tahun lamanya. Ia menyisipkan tiga lembar uang lima puluhan terakhir di dalam kantongnya sembari terus mengenggam Glen. "Bu, saya titip nanti belikan Martabak manis buat anak-anak ya, dan tolong beli sesuatu buat ibu sendiri"

Glen tak kuasa menahan perasaan haru nya. Untuknya, pria yang kini bersikap dewasa akan selalu sama dengan anak kecil yang selalu memberinya bunga liar yang ia temukan walau ia sendiri alergi dengan serbuk sari. Tak ada satupun kata yang terucap dari mulut Glen, ia hanya mengangguk.

Erik memeluk wanita yang sampai kapanpun akan ia anggap sebagai ibunya. Untuk saat ini yang bisa ia lalukan adalah meminjamkan bahunya sebelum ia beranjak pergi.

◇◇◇

Erik berjalan menuju tempatnya biasa bekerja. Ia bekerja di sebuah pusat industri makanan sebagai buruh angkut. Pekerjaanya adalah mengangkat box-box berisi makanan kedalam truk kontainer yang menunggu untuk diisi. Sebagai pekerja dibawah umur tanpa ijazah yang hanya bermodalkan tenaga, gajinya tentu jauh dari kata UMR.

Beruntung, ia mendapat banyak rekan kerja yang baik dan biasanya selalu berumur 2 kali lipat lebih tua darinya. Salah satunya Bram, pria yang telah bercerai dengan istrinya setahun yang lalu. Kini menjadi atasan sekaligus rekan kerja yang paling akrab dengannya.

"Kau selalu mengingatkanku pada putraku," ucap Brahm sambil menyesap minuman kaleng berenergi di tangannya.

Erik yang sedari tadi duduk bersandar di dinding beton mengangkat handuk-lebih tepatnya kain usang yang tersampir diatas matanya.
"Aku tak tahu kau punya anak," Erik memandangi Brahm dengan tatapan tak menyangka. "tunggu, kau sudah menikah?"

"Dulu," brahm mengoreksi. "Aku sudah bepisah dengan istriku setahun yang lalu. Kau benar-benar mengingatkanku pada anakku."

Erik mengangguk pelan "sekarang dimana dia? anakmu"

"Dia menghilang. tepat saat ulang tahunnya yang ke-20"

Erik kembali mengangguk, kali ini tak berkomentar. Raut wajah pria di hadapannya tak tergambarkan, seakan menahan begitu banyak emosi dalam satu waktu.

"Malam itu, aku melihat dia pergi tanpa berpamitan dan terlihat tergesa. Seolah-dia lari dari sesuatu. Aku ingin sekali menghentikannya, tapi sesuatu mencegahku." Pandangan Brahm menerawang jauh pada pekerja yang mengistirahatkan punggungnya pada dinding "Dia menatapku. Matanya seolah mengatakan untuk jangan mengejarnya,"

Erik mangut-mangut untuk yang ke sekian kalinya. Baginya ini adalah hal baru melihat Brahm sedemikian rupa. begitu rapuh.
Erik menelan ludah, mengumpulkan keberanian untuk bertanya. "Siapa namanya?"

The Walkers (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang